Senin, 31 Agustus 2015

Lelaki dan Perjumpaan


Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu! 
(Doa, Amir Hamzah)

Perjumpaanlah yang akan menyatukan mereka pada satu titik dimana ada cinta diantara mereka. Yang tengah bersemi dan dipupuk oleh doa. Ia masih menunggu perjumpaan manis itu. Perjumpaan dengan lelaki idamannya. Yang sampai detik ini masih tak dijumpai dalam nyata. Kini, perjumpaan dengan lelaki itu hanya tinggal angan. Sebab, hati diantara mereka tak lagi dapat dipertahankan. Lelaki itu selalu bilang bahwa hati manusia dapat dibolak-balikan olehNya. Dan lelaki itu telah membuka pemahamannya akan arti ketulusan sebuah cinta.
Mereka memang tak pernah saling mengikat satu sama lain. Tetapi, suatu ketika salah satu dari mereka mengutarakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk taaruf. Perasaan itu lahir seiring berjalannya waktu. Dan itu diyakini bahwa perasaan yang diam-diam lahir dan tumbuh dihati mereka adalah naluriah karena kehendakNya. ‘Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.’ (QS adz-Zaariyat [51]: 49).
“Bulan depan, Abang akan sibuk sekali. Jadi, mungkin tidak bisa menghubungi adek atau sebaliknya. Maaf ya dek.” Lelaki itu menutup percakapannya. Dari seberang sana, kesibukan begitu kentara.  
Sejak saat itu, lelaki itu tak pernah memberinya kabar. Ia menghilang. Seperti pada malam-malam berikutnya, riuh suara di depan kamar tamu tak lagi terdengar. Dan,  perempuan itu masih menanti terleponnya berdering. Dan untuk kesekian kalinya, lelaki itu membuatnya resah dan patah hati.
Tiga bulan telah berlalu, namun si perempuan masih menanti perjumpaan dengan lelakinya. Ia dihantui oleh keresahannya. Akan ketulusan cintanya.
“Bodoh!” Ia merutuk dirinya sendiri. Berharap akan tumbuh kebencian dalam hatinya. Dan tak ada lagi kata cinta yang tulus untuk lelakinya. Sayangnya, itu tak terjadi. Di tengah kegundahan seperti malam itu. Hatinya meradang. Puncaknya adalah di saat kerinduan itu datang. Hatinya bagai dihantam oleh ombak. Di saat itulah ia akan memutar rekaman lelakinya yang tengah melantunkan ayat-ayatNya. Dengan begitu ia mampu meredam segala gejolak kemarahan, kebencian, dan kerinduanya yang berkecamuk dalam hatinya. Ayat-ayat yang dilantukan lelaki itu mampu membuatnya tenang. Ketenangan menjalar hingga nadinya. Hingga tak kuasa ia menitikan airmata.
Kebodohan yang dirasakan membuka penalaranya akan sebuah penafsiran bahwa sesungguhnya rasa cinta seorang manusia tak boleh melebihi pada Tuhannya. Betapa si perempuan menyesal akan ketulusan cinta yang lahir dalam dirinya.  
   Sekalipun penyesalan itu menghantuinya. Tetapi, ia percaya bahwa perkenalan dengan lelaki itu juga adalah kehendakNya. Tak ada perjumpaan dan perpisahan. Cinta yang tumbuh dalam beberapa bulan itu nyatanya mampu memberikan energi positif bagi si perempuan. Salah satunya adalah ingin menjadi perempuan yang sholehah di mataNya. Meski akhirnya cerita cintanya tak berakhir manis. Namun, tak sedikitpun berkeinginan melupakan kenangan manis itu bersama lelakinya. Rekaman mengaji adalah bukti bahwa rasa cintanya masih ada. Dan ia akan memupuknya lewat doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar