Barang
siapa yang menghendaki kebahagiaan di dunia maka harus dengan ilmu, dan barang
siapa menghendaki kebahagiaan akhirat harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang
menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat) maka harus dengan ilmu. (H.R.
Thabrani)
“Aku pengen kuliah teh” Kata Iyah suatu
hari padaku.
“Wah bagus tuh. Nanti untuk bayar
form-nya nggak usah dipikirin. Insya Allah teteh bantu.” Sambutku dengan senyum
mengembang. Jujur aku begitu bahagia mendengar adikku mengutarakan keinginannya
untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Semangat yang adikku perlihatkan tampak jelas.
Di saat itulah aku teringat pada diriku sendiri beberapa tahun silam. Yang
begitu bersemangat ingin masuk kuliah.
Aku sangat bersyukur karena jejak pendidikan
yang telah kuukir di dalam keluargaku kini tak hanya aku. Adikku yang ke enam
pun akan mengikuti jejakku. Dia seorang perempuan yang baik. Dialah yang akan
menjadi penerusku selanjutnya. Meskipun status perguruan tinggi dan jurusan yang
kami tempuh berbeda. Namun kami yakin, garis yang Tuhan buat untuk kami adalah
garis yang akan menuntun kami pada pintu
yang dijanjikanNya.
Aku tak pernah menyesal dilahirkan dalam
keluarga yang mendidikku agar mengubur dalam-dalam rasa malu. Terlebih
persoalan keuangan. Aku pun tak menyesali jika dalam perjalanan hidupku banyak
halangan dan rintangan. Bagiku halangan dan rintangan itu adalah ujian yang Tuhan
berikan agar membuat hamba-hambanya tak berhenti mengingatNya. Seperti dalam hadis Ushul Al-Kafi: 255, di hadis itu menyebutkan
bahwa Allah Swt akan mengingat dan menyayangi hamba mukmin dengan mengirimkan
masalah dan kesulitan. Inilah bukti kecintaanNya padaku. Bahkan dalam hadis
yang sama Ushul Al-Kafi: 253, menegaskan ketika Allah Swt mencintai seorang
hamba, maka ia akan ditenggelamkan dalam kesulitan.
Jika kutarik waktu ke 13 tahun ke
belakang, untuk sampai ke tahap ini, aku
akui memang Rumah Dunialah yang berperan besar mengubah sejarah dalam hidupku. Rumah
Dunialah yang telah melepaskanku dari rantai kemiskinan ketidakpercayaan diri
ini. Krisis kepercayaan diri yang tertanam dalam diriku adalah ketidakmungkinan
akan sebuah kenyataan pahit, bahwa bagaimana mungkin seorang anak yang bapak
dan ibunya hanya berprofesi sebagai tukang ikan di Pasar Tradisional dan tukang
urut bisa memutus rantai kemiskinan terutama dalam bidang pendidikan.
Aku masih ingat sekali, saat pertama
kali menginjakkan kaki di Rumah Dunia. Saat itu, tak pernah terbesit dalam
pikiranku untuk melanjutkan sekolah, apalagi hingga ke jenjang perguruan
tinggi. Hal ini dikarenakan lingkungan keluarga dan tempat tinggal yang masih
terjerat oleh paradigma bahwa pendidikan itu tidak penting dan biayanya mahal. Lalu
keadaan kampungku berubah 180 derajat setelah adanya Rumah Dunia. Seiring
berjalannya waktu kebiasaan anak-anak di Kampungku tergantikan dengan aktivitas
di luar kebiasaan mereka. Salah satunya adalah membaca. Dari proses membaca
inilah aku menemukan secercah mimpi yakni ingin mengubah strata keluargaku
lewat pendidikan. Dan Allah pun merestui pilihanku seperti pada firmanNya, “Allah
niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu
pengetahuan bertingkat dan Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu
lakukan.” (Qs. Al-Mujadalah:11).
Oktober mendatang, aku akan secara resmi menyandang gelar S.Pd. di
belakang namaku. Bagiku gelar yang bakal mengisi pada namaku itu bukan sekedar
gelar. Tetapi, terkandung doa yang besar. Doa anak seorang tukang urut dan penjual ikan menjadi pendidik yang tidak hanya
mendidik tetapi juga menuntun agar peserta didiknya menjadi manusia yang
bermoral dan berpribadian mulia. Semoga.*
selamat yah sudah lulus, insya allah saya juga nyusul.
BalasHapusmakasih. harus donk.
Hapus