Kamis, 20 Agustus 2015

Jejak

Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan di dunia maka harus dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebahagiaan akhirat harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat) maka harus dengan ilmu. (H.R. Thabrani)

“Aku pengen kuliah teh” Kata Iyah suatu hari padaku.
“Wah bagus tuh. Nanti untuk bayar form-nya nggak usah dipikirin. Insya Allah teteh bantu.” Sambutku dengan senyum mengembang. Jujur aku begitu bahagia mendengar adikku mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi.  Semangat yang adikku perlihatkan tampak jelas. Di saat itulah aku teringat pada diriku sendiri beberapa tahun silam. Yang begitu bersemangat ingin masuk kuliah.
Aku sangat bersyukur karena jejak pendidikan yang telah kuukir di dalam keluargaku kini tak hanya aku. Adikku yang ke enam pun akan mengikuti jejakku. Dia seorang perempuan yang baik. Dialah yang akan menjadi penerusku selanjutnya. Meskipun status perguruan tinggi dan jurusan yang kami tempuh berbeda. Namun kami yakin, garis yang Tuhan buat untuk kami adalah garis yang  akan menuntun kami pada pintu yang dijanjikanNya. 
Aku tak pernah menyesal dilahirkan dalam keluarga yang mendidikku agar mengubur dalam-dalam rasa malu. Terlebih persoalan keuangan. Aku pun tak menyesali jika dalam perjalanan hidupku banyak halangan dan rintangan. Bagiku halangan dan rintangan itu adalah ujian yang Tuhan berikan agar membuat hamba-hambanya tak berhenti mengingatNya. Seperti dalam hadis Ushul Al-Kafi: 255, di hadis itu menyebutkan bahwa Allah Swt akan mengingat dan menyayangi hamba mukmin dengan mengirimkan masalah dan kesulitan. Inilah bukti kecintaanNya padaku. Bahkan dalam hadis yang sama Ushul Al-Kafi: 253, menegaskan ketika Allah Swt mencintai seorang hamba, maka ia akan ditenggelamkan dalam kesulitan.
Jika kutarik waktu ke 13 tahun ke belakang,  untuk sampai ke tahap ini, aku akui memang Rumah Dunialah yang berperan besar mengubah sejarah dalam hidupku. Rumah Dunialah yang telah melepaskanku dari rantai kemiskinan ketidakpercayaan diri ini. Krisis kepercayaan diri yang tertanam dalam diriku adalah ketidakmungkinan akan sebuah kenyataan pahit, bahwa bagaimana mungkin seorang anak yang bapak dan ibunya hanya berprofesi sebagai tukang ikan di Pasar Tradisional dan tukang urut bisa memutus rantai kemiskinan terutama dalam bidang pendidikan.
Aku masih ingat sekali, saat pertama kali menginjakkan kaki di Rumah Dunia. Saat itu, tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk melanjutkan sekolah, apalagi hingga ke jenjang perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan lingkungan keluarga dan tempat tinggal yang masih terjerat oleh paradigma bahwa pendidikan itu tidak penting dan biayanya mahal. Lalu keadaan kampungku berubah 180 derajat setelah adanya Rumah Dunia. Seiring berjalannya waktu kebiasaan anak-anak di Kampungku tergantikan dengan aktivitas di luar kebiasaan mereka. Salah satunya adalah membaca. Dari proses membaca inilah aku menemukan secercah mimpi yakni ingin mengubah strata keluargaku lewat pendidikan. Dan Allah pun merestui pilihanku seperti pada firmanNya, “Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat dan Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan.” (Qs. Al-Mujadalah:11).
Oktober mendatang, aku akan secara resmi menyandang gelar S.Pd. di belakang namaku. Bagiku gelar yang bakal mengisi pada namaku itu bukan sekedar gelar. Tetapi, terkandung doa yang besar. Doa anak seorang tukang urut dan penjual ikan menjadi pendidik yang tidak hanya mendidik tetapi juga menuntun agar peserta didiknya menjadi manusia yang bermoral dan berpribadian mulia. Semoga.*







2 komentar: