Kamis, 03 April 2014

Aku dan Rumah Dunia


Istana Mainan
Masih terekam jelas bayangan masa kecilku sebelum tergabung di Rumah Dunia. Keseharianku hanya diisi dengan banyak bermain. Istana sampah menjadi tempat favorit aku dan teman-temanku untuk berburu harta karun. Harta karun yang akan kami jadikan sebuah mainan. Meskipun sekedar berebut lembaran-lembaran plastik bekas makanan, atau bila beruntung aku bisa menemukan mainan yang masih layak pakai. Aku dan teman-temanku tetap bahagia.
Suatu hari, aku dan teman-temanku mendapati gadis kecil yang sedang bermain di depan rumahnya. Rambutnya sebahu dan agak ikal. Tapi dia cukup manis untuk anak seusia itu. Lalu ditangan kanannya ia sedang memegang bonekanya erat. Mirip sekali dengan tokoh kartun yang biasa kutonton di televisi.
Perkenalan yang singkat itu membuat kami kian dekat. Bella sapaan untuk gadis kecil itu kemudian mengajak kami untuk bermain dengannya. Tibalah kami di sebuah pekarangan rumah belakang, Bella memasukkan barbie di dalam rumah-rumahan besar yang bercat pink. Lalu dia menyuruh kami untuk mendekatinya. Kami sangat terkejut sambil berdecak kagum saat menginjakkan kaki di pasir. Hamparan pasir berisi mainan yang bertebaran dimana-mana. Inilah istana mainan sesungguhnya teman-teman? Lirihku dalam hati.
Kami memang anak-anak kampung yang belum pernah melihat langsung atau bahkan sampai memainkan mainan sebanyak itu. Dan kami benar-benar dibuat gadis kecil itu nyaman. Karena dia membolehkan kami untuk datang setiap hari dan bermain sesuka hati dengan mainan-mainan miliknya.
Angin segar yang berhembus akan keberadaan istana mainan rupanya memancing perhatian anak-anak sekitar. Entah siapa yang menyebarkannya. Laki-laki dan perempuan bergerombol mendatangi perkarangan. Mereka berdiri di depan pagar kayu yang tidak terkunci dan saling pandang antar temannya. Tanpa mengeluarkan aba-aba lagi Bella bangkit dari tempat bermainnya dan mengajak mereka masuk ke dalam.
Setiap hari selepas pulang Sekolah Agama atau selepas shalat ashar kami bermain di istana mainan hingga senja. Lambat laun mainan itu kian habis. Entah diambil siapa. Barangkali memang ada beberapa anak yang ingin memainkannya lebih lama lagi. Sehingga dia membawanya pulang. Istana mainan itu sudah tidak ada lagi dan kami kebingungan.

Istana Buku
Mainan-mainan yang biasa berserakan di atas pasir kini tidak tampak lagi. Yang ada hanya serak buku bacaan di gigir tembok. Meski pada awalnya kami ragu untuk membaca buku-buku di rak itu. karena penyebabnya adalah kami tidak terbiasa membaca buku selain buku pelajaran. Terlebih mempunyai buku-buku cerita. Namun, ketika seorang perempuan yang mengenakan baju kodok keluar bersamaan dengan Bella dari balik pintu besi, ia mengajakku dan teman-temanku untuk mendengarkannya mendongeng. Seketika keragu-raguan itu hilang. Hasrat  untuk membaca buku mengembara. Usai mendongeng, kami berebut buku di rak yang dibiarkan menyandar di tembok.
 Membaca buku cerita ternyata mengasyikkan. Tak hanya aku yang mengatakan demikian. Anak-anak yang lain pun mengatakan hal yang sama. Terlebih karena di dalam buku cerita itu terdapat gambar-gambar yang lucu dan cantik.
Waktu terus bergulir dengan cepat, hingga tidak terasa serak buku itu telah disulap menjadi sebuah istana buku. Buku-buku cerita semakin banyak, dan kami tidak lagi saling berebut buku yang sama untuk membacanya. Lalu kemudian beberapa kegiatan diselenggarakan setiap hari. Mulai dari kelas menggambar, mengarang, membuat puisi, menyanyi dan teater.
Kegiatan reguler Rumah Dunia telah menyita waktu bermainku. Ya, kami tidak lagi menghabiskan waktu setengah hari untuk bermain. Kami lebih suka menghabiskan waktu untuk membaca atau mengasah kemampuan yang ternyata kami punyai. Tetapi, bukan berarti meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar yakni sekolah dan belajar. Kesukaan inilah yang kemudian membuatku belajar untuk lebih bijaksana dalam membagi waktu.  Sehingga kegiatan di sekolah, rumah dan Rumah Dunia terbagi rata.
Rumah Dunia tak ubahnya sebuah istana bagiku dan teman-temanku. Istana yang menyimpan banyak mimpi. Mimpi yang harus kami raih. Karena mimpi bukan lagi milik mereka orang-orang kaya saja. Tetapi, kami anak-anak kampung pun juga sama mempunyai mimpi.
Bukan menjadi alasan jika ekonomi pada setiap anak di Rumah Dunia lemah, ya hal ini tidak menjadikan kami semakin terpuruk. Oleh karenanya, kami tak segan untuk terus meningkatkan kemampuan pada setiap pertemuan di kegiatan reguler Rumah Dunia.  Kami yakin bahwa Rumah Dunia adalah tempat yang tepat untuk kami mengembangkan bakat dan menemukan keinginan kita. Kini, Rumah Dunia telah menciptakan suasana baru di kampungku.
 “Buku adalah jendela dunia. Jadi, jika kalian ingin tahu banyak hal tentang seluruh jagat raya ini, maka membacalah,” kata Enek mengakhiri dongengnya di pendopo.
Kini, berkat membaca aku berani bermimpi dan kini mimpi itu sedang aku rajut lewat Rumah Dunia.

                                                                                                   Dipersembahkan untuk HUT RD ke-12

Hadiah untuk Emak

Telah kutunaikan janjiku kepada Emak untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga di Jakarta. Menggendong cucu tersayangnya Kafi yang usianya sudah genap 4 tahun. Bahagia Emak seolah membayang dipelupuk mataku. Nyaris saja, namun seketika pudar saat aku membuka dompet beluduruku.

“Aku cuma punya selembar seratus ribu.” Lirihku dalam hati. Ya, Aku hanya mengantongi uang selembar seratus ribu-an saja. Rencananya uang itu akan kugunakan untuk perjalanan pergi dan pulang lagi ke Serang. Dengan berbekal niat dan tekad yang kuat, Insya Allah perjalanan ini akan berakhir bahagia. Padahal di dalam hatiku seringkali dirundung kegundahan dan kegelisahan akan keberangkatan ini. Terlebih karena Emak masih mengeluh kepalanya sakit.

“Ya Allah lindungi perjalanan kami, dan jagalah Emak di saat aku tidak lagi melihatnya.” Pintaku seusai shalat shubuh. Aku menengadahkan kedua tanganku lebih erat. Tak sengaja setitik air bening mengalir halus di pipiku. Aku tergugu di atas sejadah.

Langit masih diselimuti awan hitam. Udara dingin mulai menyergapku. Kokok ayam jantan sudah berlalu bersamaan dengan suara parau dizikir dari samping masjid sebelah rumahku. Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku bergegas mengeluarkan dua kardus dari dalam rumah dan kuletakkan ke atas meja kayu.

Aku mengayunkan kedua kaki menuju kamar Emak. Hatiku masih gelisah. Kubuka gorden hijau yang menggantung kokoh di atas kayu. Pelan-pelan aku masuk ke dalam.

“Nggak apa-apa ya kita naik kereta, Mak?” Aku membuka percakapan. Emak

mengangguk pelan. Ia masih membenahi pakaiannya. “Udah minum obat kan, Mak.” Tanyaku lagi memastikan.

“Iya, Alhamdulillah sudah.” Jawab Emak singkat.

“Gimana dengan sakit kepalanya, Mak. Apakah pagi ini kerasa lagi? Kalau masih kerasa sakit, kita tunda sampai lusa keberangkatannya, ya. Gimana?”

“Insya Allah, Nong. Ini sudah mendingan, kok.” Kata Emak sambil menyunggingkan senyuman. Meskipun aku tidak merasakan bagaimana keadaan Emak sesungguhnya namun lewat senyumnya mampu meredakan segala kegelisahan dan kegundahan yang kurasakan saat itu.

Pagi kian menyingsing, suara riuh segerombolan anak-anak berseragam merah putih dan biru datang dari arah mesin roda dua yang membawaku dan Emak ke stasiun. Salah satu dari mereka melemparkan senyuman kepadaku. Aku hanya mengangguk sambil melukis dua lesung dipipi. Mesin roda dua yang kami tumpangi kian melaju memacu kecepatanya. Menyibak jalan perkampungan yang sudah menggeliat dengan berbagai rutinitas masing-masing.

Tepat pukul 06.55 WIB ular besi jurusan angke tiba di stasiun Taman Sari. Aku terpaksa berlari kecil ke tempat pembelian tiket KA. Aku menyerahkan selembar sepuluh ribuan dan selembar dua ribuan. Tiga tiket sudah berpindah di tanganku. Segera aku menghampiri Emak dan adikku yang sudah menungguku di pintu masuk stasiun. Dan dengan cekatan aku meraih gagang pintu besi KA. Kemudian Emak dan disusul adikku.

Aku mengedarkan pandangan ke jejeran kursi abu-abu panjang yang terbagi menjadi dua bagian. Beberapa bangku dekat pintu gerbong sudah terisi penumpang. Aku melangkah maju ke tengah gerbong. Langkahku terhenti saat sebuah kursi di seberang sebelah kanan belum ada yang menempati. Kami bergegas menempatinya sebelum diambil alih oleh orang lain.

“Muat tiga orang nih, Mak.” Kataku pada Emak.

“Iya, asyik lagi deket jendela.” Adikku ikut menimpali.

 Bunyi peluit panjang mengangkasa ke udara. Gesekan antar roda dengan rel kian terasa di bawah kaki saat ular besi pelan-pelan beranjak dari stasiun. Menggilas rel. Mengikuti alurnya yang panjang. Kami duduk dibangku deretan kursi ke tiga dari pintu gerbong. Sesekali aku melempar pandang ke berbagai penjuru mata angin. Sekedar untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Dan ketika kedua bola mataku melirik ke sebelah kiri, aku mendapati Emak tengah melengkungkan dua garis dibibirnya. Kebahagiaan begitu terpancar di wajahnya. Sayang aku tidak mengabadikanya sebagai moment terindah kita jalan pertama menggunakan transportasi KA ya Mak.

Aku kembali terenyuh olehmu, Mak. Terlebih dengan kemampuanmu memijat, yang kamu dapatkan turun temurun dari nenek, yang kemudian dijadikan sebagai mata pencaharianmu untuk menyambung hidup kami. Namun, ketika sakit kepala itu datang dan tak kunjung mereda, Emak harus menghentikan memijatnya untuk sementara waktu.

“Allah masih sayang sama Emak. Buktinya Emak disuruh istirahat,” kataku suatu hari di ruang tamu. Emak yang sedang berbaring di kursi sebenarnya tahu kalau aku sedang memberi dukungan kepadanya agar ia tetap tegar dalam menghadapi cobaan ini.

“Lihat hamparan padi-padi yang sedang menguning di sana, Mak.”  Aku memecahkan keheningan di dalam kereta. Aku pegang tangan Emak pelan sembari menyelipkan permintaan maaf dalam hati. “Maafkan aku, Mak. Aku tidak memberikan kendaraan yang terbaik untukmu. Insya Allah, kelak aku akan memberikan yang lebih baik dari ini. Doakan aku ya, Mak.” Harapku.(*)


Ketika Malam di Malioboro

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir mata kuliah English for Toursm, Universitas Banten Jaya melakukan perjalanan ke Jawa Tengah, Sabtu (04/05) sampai Senin (06/05). Tempat yang akan kami singgahi adalah beberapa tempat wisata yang sangat menarik tentunya.

Matahari rebah kepelukan sang timur. Saat kendaraan yang ditumpangi rombonganku menggilas jalanan utama menuju Malioboro, yang sudah mulai menampakkan kehidupannya ketika malam menjelang. Kerlap kerlip lampu jalanannya bertebaran tak ubahnya kunang-kunang di pedesaan. Menyapa kedatangan kami di tempat yang biasa dijadikan ikon kota Jogjakarta.

“Wah bagaimana ini, jalanannya macet sekali.” Kata Pak Jarwo tour guide rombongan kami mengeluhkan.

Aku tertunduk lesu mendengar ucapan yang meluncur dari mulut Pak Jarwo barusan. Jujur dalam hati, aku sangat kecewa dengan situasi ini. Bagaimana tidak, saat kaki ini sudah gatal ingin segera bercumbu dan menikmati malam dengan hiruk pikuk kendaraan yang bertaburan bagai laron, tiba-tiba mendapati situasi yang tidak diingini.

“Tapi, kita masih bisa memutar melewati Taman Bacaan Ceria. Meskipun jaraknya tidak sedekat dengan jalan yang tadi, soalnya kita harus jalan dulu untuk sampai di sana.” Terangnya sekali lagi.
Penjelasan Pak Sujarwo seketika membuat wajahku kembali berseri. Dan mampu mengobati rasa kekecewanku. Setidaknya itu adalah jalan keluar yang masuk diakal bukan. Karena hal itu sungguh di luar kekuasaan manusia, ketika lautan kendaraan membanjiri jalanan utama menuju Malioboro. Maka segeralah mengambil tindakan dengan mengganti route untuk bisa sampai ke tempat yang dituju. Itulah tugas seorang Tour Guide sesungguhnya.

Jam tangan dipergelangan tanganku telah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Tetapi suasana hiruk pikuk lautan manusia malah semakin menjadi-jadi. Apakah karena ini malam minggu, sehingga suasananya berbeda dengan malam-malam lainnya. Entahlah.

Di sepanjang perjalanan menuju Malioboro mataku disuguhkan dengan berbagai bangunan-bangunan tua namun unik dan menarik. Apalagi saat cahaya lampu jatuh mengenainya dilengkapi dengan rerimbunan pepohonan rindang melukis bayangan kesempurnaan. Indah sekali.

Para pedagang yang berjejer di bibir jalan pun seolah tidak ingin ketinggalan moment penting ini, untuk mengais rupiah demi rupiah.. Mereka tidak perduli dengan para pedagang lainnya. Karena ketika berbicara soal rizki Tuhanlah yang berkuasa di sini.  Mereka menggelar daganganya mulai dari pakaian dan souvenir khas jogja, pernak-pernik gelang dan cincin, dan masih banyak lagi.

 “Inikah jalan Malioboro yang terkenal itu,” lirihku dalam hati saat kedua bola mataku saling berkejaran memotreti setiap lekuk tubuh Malioboro yang ramai dengan lautan manusia. Dengan segudang kreativitas yang bebas dituangkan oleh siapapun.

Langkah kedua kakiku mendadak terhenti. Ketika sebuah pertunjukan seni serupa dengan teater di kellilingi banyak orang. Sepertinya mereka terbentuk dari sekelompok atau komunitas penyuka seni. Mereka mampu menarik perhatianku untuk menyaksikannya. Mereka mengenakan kostum ala ‘halloween’ dengan memadupadankan dengan karakternya masing-masing. Sehingga pertunjukan yang mereka tampilkan membuatku inginku untuk segera mengabadikannya lewat jepretan kamera digital. Bahkan seolah-olah membiusku untuk berlama-lama berada di sana.

“Ayo, Uni?” Panggil seseorang dari balik kerumunan orang-orang. Ia datang menghampiriku dan langsung menggapit tanganku kananku. Aku berjalan tertatih-tatih mensejajarkan langkah kakinya yang cepat.
“Buruan atuh, ntar kita mencar lagi sama anak-anak yang lain.” Katanya sekali lagi dengan nada setengah memperingati.
“Iya, iya. Sabar atuh.” Ketusku. Aku kembali menyisir separuh perjalananku mengintari Malioboro. Dengan sejuta kata yang menggunung di dada dan tak sempat kucurahkan pada keeksotikan malam itu. Dalam langkah kakiku yang bernada, maka aku sampaikan pada jalanan menghitam jika aku diperbolehkan menginjakkan kaki tuk kembali, kuingin menyaksikan hal serupa dengan malam ini. Kota pelajar kukan merindumu.(*)