Jumat, 23 Oktober 2015

Bogor dan Sebuah Harapan


Candu Bertualang
         Aku melepas kepergian pagi itu, Senin (19/10) dengan wajah berseri. Semangat yang menggebu nyatanya mampu meyakinkan emak merestui kepergianku ke Bogor.  Aku tak ingin membuat emak mengkhawatirkanku. Terlebih perjalanan kali ini aku menempuhnya seorang diri.

            “Meskipun kamu berbeda dari kebanyakan anak perempuan di luar sana. Tapi, ingatlah bahwa perempuan tetap perempuan.” Katanya sambil menjabat tanganku erat. Dalam beberapa detik hatiku terenyuh.  Dan hampir saja airmataku berhamburan. Namun, segera kutahan.

“Doakan uni ya, mak. Selamat sampai tujuan dan dimudahkan segala urusannya.” Pintaku. Emak mengangguk sambil mengelus punggung tanganku lembut. Hatiku semakin kebat kebit saat melepaskan pegangan tangan emak dan menjauh darinya beberapa meter. Kedua kakiku berkata lain. Aku pun berlari kecil menghampiri emak. Dan kulayangkan kecupan pada kedua pipinya.

Emak menghentikan memasak di dapur. Dan mengantarku keluar rumah.

“Sudah pamit sama Bapak?” Tanyanya di depan pintu.

“Bapak masih tidur.” Kataku sekenanya.

“Nggak apa-apa bangunin aja,”

Ya, emak selalu mengingatkanku untuk tidak melewatkan hal yang satu ini. Meminta restu pada bapak juga kakak keduaku. Baiklah, tibalah waktunya untuk aku berangkat. Kulihat jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Deru knalpot pun sudah memanggil-manggilku. Itu pertanda aku harus bergegas keluar dari rumah. Karena adikku sudah menungguku di luar.

“Berangkat dulu ya, mak. Assalamualaikum.”

“Hati-hati. Waalaikumsalam.”

Gang rumahku masih tampak lengang. Belum ada tanda-tanda anak sekolah dasar melintas. Biasanya mereka akan mewarnai jalanan kecil ini. Kedua tangannya menggenggam erat seplastik gorengan dan uduk atau dua mangkuk bubur ayam yang dibelinya untuk mengganjal perutnya yang kosong. Ketika sampai di perbatasan gang. Adikku semakin melajukan motornya kencang.

Ini bukan kali pertama aku melakukan perjalanan menggunakan kereta api ekonomi patas Merak. Justru karena banyak pertimbanganlah akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan alat transportasi umum ini lagi. Selain dapat menekan pengeluaran. Juga dapat mencairkan   kerinduan yang telah mengkristal dalam darahku. Berpetualang. Ya, semenjak skripsi selesai waktuku terenggut oleh segudang kegiatan mengajar.

Aku tiba di pintu gerbang stasiun tepat pukul 06.30 WIB. Dari pintu gerbang stasiun entah mengapa aku merasakan udara kebebasan. Darahku bergejolak saat wajahku diterpa angin yang melintas bersamaan dengan kedatangan ular besi di depan mataku. Aku hirup udara kebebasan itu sebanyak-banyaknya.

HUPP.

Aku memegang gagang besi pintu masuk gerbong.

“Akhirnya, setelah berjibaku dengan segudang aktivitas mengajar aku bisa menikmati bertualang kembali.” Selorohku dalam hati.

Teman Baru dalam Gerbong
Ketahuilah bahwa ketika kedua kaki ini melangkah menjauh dari rumah dengan tujuan yang baik, Insya Allah Tuhan akan membuka pintu-pintu lainnya untuk memudahkan perjalanan itu. Seperti perkenalan yang tanpa disengaja hari itu di dalam gerbong kereta.

Aku bersyukur bisa duduk sejajar diantara para perempuan. Bukan tidak mungkin sebenarnya, aku duduk berbaur dengan laki-laki. Namanya juga alat transportasi umum. Mana bisa kita memilih duduk dengan seseorang sesuka hati.

 Aku menyapa mereka dengan mengayunkan kepala sembari tersenyum simpul. Seorang bapak yang menyuruhku duduk di seberang pun tak luput dari sapaanku. Bapak itu kutaksir usianya 60 tahunan kembali kekesibukannya. Begitu pula dengan aku.

Aku belum ingin bertanya banyak pada seseorang di samping atau di seberangku. Aku sedang ingin menghabiskan beberapa menit merekam keindahan alam di luar jendela gerbong. Tiba-tiba telingaku mendengar seseorang menyebut Bogor. Seketika telingaku berpaling pada sumber suara. Pada seorang perempuan muda di pinggir jendela yang mengaku tengah kuliah di  di Pakuan.

Aku simak baik-baik setiap perbicangan itu. Sambil menahan rasa ingin tahu yang mulai menggunung di kepala. Alhamdulillah aku mendapatkan teman sebangku yang juga akan melakukan perjalanan serupa. Itu artinya aku tidak akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Selang beberapa menit kemudian, ketika suasana hening disaat itulah kugunakan membangun percakapan dengan perempuan di pinggir jendela gerbong. Kuutarakan beberapa pertanyaan yang mendesak-desak sedari tadi di kepalaku.

Bogor dan TBM Warabal
Akhirnya kami tiba di stasiun Bogor. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam akhirnya aku menginjakkan kaki di tanah perjuangan seorang pahlwan dari Pandeglang. Ia adalah Kapten Tubagus Muslihat yang mendedikasikan dirinya sebagai tentara PETA.

Kami berpisah di bawah jalan layang stasiun. Agnes akan melanjutkan perjalanan ke kampusnya. Yang ternyata angkutan kota (angkot) kami beda nomor.  

Terik matahari kian terasa saat aku keluar dari pintu gerbang stasiun.

Panas.

Kata itulah yang meluncur cepat dari bibirku. Bayanganku tertumbuk pada satu tempat yang mengundang tanya. Bukankah seharusnya sejuk karena di Bogor terdapat tempat yang mampu meredam hawa panas. Puncak. Ah, sudahlah.

Malam ini aku akan menginap di TBM Warabal. Pemiliknya adalah seorang perempuan hebat yang mendedikasikan dirinya pada dunia literasi. Aku memanggilnya dengan Bude Kis.

Bukan tanpa alasan mengapa aku menginap di TBM Warabal. Selain jarak tempuh ke Dompet Dhuafa lebih dekat juga aku ingin berbagi sedikit ilmu teater pada anak-anak di sana. Mungkin pelatihan teater dalam semalam itu tidak dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak-anak binaan TBM Warabal. Tetapi, aku yakin sekecil apapun ilmu yang dibagikan pastilah bermanfaat. Insya Allah.

Dompet Dhuafa
            Bismillah. Aku berdoa lirih dalam hati.
          
         Aku melangkahkan kaki ke pintu masuk gerbang yang merupa seperti sekolah. Benar saja dari ujung gerbang masuk, mataku langsung menangkap beberapa siswa yang keluar masuk ruang kelas. Mereka mengenakan pakaian yang seragam.

“Mereka siswa SMART yang diperuntukan untuk SMP hingga SMA. Mereka datang dari segala penjuru kota di Indonesia. Mereka mengikuti kelas akselerasi 5 tahun dalam menempuh pendidikannya.” Papar Imam saat ditanya melalui akun BBMnya padaku.

Bersih dan rapih. Begitulah kesan yang kutangkap dari tempat itu. Sepertinya konsep bangunan hijau benar-benar diterapkan di sana. Berbagai pohon yang di tanam di tiap sudut mampu membuat hati dan jiwaku tenang.
         
         Hiruk pikuk siswa tak ubahnya seperti berada dalam pesantren modern. Hal itu kian kentara saat kedua kakiku tiba di pelataran masjid. Anak murid dan guru-gurunya begitu sibuk. Tiba-tiba aku tertarik dengan satu bangunan di seberang masjid. Bangunan hijau muda yang berdiri kokoh tepat di depan mataku.

“Aku pernah lihat banguan itu di Televisi.” Seruku dalam hati.

Tiba-tiba terlintas harapan besar dalam benakku. Menjadi bagian dari guru-guru yang dibentuk oleh Dompet Dhuafa dengan nama Sekolah Guru Indonesia. Tahun ini telah memasuki angkatan 15. Dan aku benar-benar ingin sekali mendedikasikan diriku untuk keberhasilan anak-anak yang jauh dari pusat kota. Yang minim informasi bahkan pendidikan yang semestinya mereka dapatkan tak ayal terlupakan. Harapan untuk menjadi seseorang yang membanggakan kedua orang tua dan menjadikan anak-anak di pelosok negeri agar berani bermimpi. Menjadi anak-anak yang dapat mengharumkan nama negerinya.

Pulang
Mak aku pulang. Aku tak bisa membelikan berbagai macam buah tangan. Yang sudah menjadi kebiasaan di rumah jika berpegian jauh selalu membawa oleh-oleh. Tetapi, manisan bogor yang terkenal di sana kubelikan setoples. Tidak banyak memang, semoga dapat dimaklumi.

Mak, waktu yang berjalan cepat tak dapat membuatku menikmati perjalanan ini. Jujur, ketika beberapa tempat yang bisa kulihat di televise hanya bisa dinikmati di dalam angkutan kota. Seperti angkot nomor 03 yang membawaku pulang. Angkot itu melintas di depan Istana Negara, Tugu Selamat Datang Bogor dan Kebun Raya aku hanya bisa mengabadikannya lewat foto. Dan aku merasa itu sudah lebih daripada cukup. Meski hanya melihatnya dari kejauhan dan di balik jendela angkutan umum.  

Mak aku pulang, membawa cerita yang mungkin takkan usai meski kuukir menjadi sebuah tulisan. Mak kecupan kemarin pagi masih terasa dibibirku. Mak peluk aku saat pintu rumah terbuka. Entah mengapa sesore ini airmataku luruh. (*)