Rabu, 25 Februari 2015

Sisi Perempuan pada Existere


Membaca novel Existere karya Sinta Yudisia yang menyoroti soal perempuan membuat hatiku bergetar sekaligus gusar. Pasalnya perempuan-perempuan yang ada dalam cerita ini rela mengorbankan apapun. Sekalipun itu kesuciannya.
Kebahagiaan, ketulusan, kesendirian, keprihatinan, dan kepiluan yang mereka jalani tentu adalah nyata. Bukan fiksi belaka. Sinta ingin menekankan pada pembaca bahwa perempuan yang menceburkan diri ke dalam lembah hitam itu bukan karena kemauannya. Melainkan karena kemiskinan yang kian hari kian menjeratnya. Ia juga ingin menyampaikan bahwa orang-orang seperti mereka sebenarnya hidup dalam kegetiran dan ketakutan. Lalu mereka tak ingin kelaparan. Miris. “Lapar adalah ketika sepekan berturut tak ada makanan layak yang masuk perut. Lapar adalah ketika sedikit uang untuk membeli beras, terpaksa bergilir memakannya. Lapar adalah ketika lauk tempe, tahu, kecap, sayur kangkung, tak bisa beriringan. Jika siang memakan tahu dan sayur toge, jangan harap malam bisa makan lagi. Lapar adalah tumpukan utang di warung sekililing. Lapar adalah rasa malu, hina, dan harga diri. Lapar adalah rasa nyeri di ulu hati, perih di dada, mulut berdusta” (Hal 75).
Sebagai seorang perempuan yang dianugerahi intuisi oleh Tuhan sebagai makhluk yang amat peka dan perasa. Aku merasakan betul pergolakan batin seorang perempuan lewat berbagai konflik yang muncul. Jamilah (Milla), Almaida, dan Qoshirotu Thorfi (Ochi) menjadi pusat dalam cerita ini. Meski ceritanya tumpang tindih dan terkesan melompat-lompat dari cerita satu ke cerita lainnya namun buku setebal 365 lembar dengan jumlah episode 12 selesai kubaca.
Setiap sisi perempuan serasa dikupas tuntas oleh Sinta. Betapa Sinta ingin menguatkan kesannya pada pembaca bahwa perempuan itu tidak lemah. Sekalipun kemiskinan kian hari kian menghimpit Jamilah. Perempuan Tegal yang meninggalkan kampungnya dan memutuskan hijrah ke Surabaya. Agar keluarga tercintanya tak lagi digerogoti kemiskinan ia menerima tawaran Jean menjadi seorang pelacur profesional. Pernyataan Jamilah “Tak pernah keterbatasan membuat Jamilah dan adik-adiknya membenci kemiskinan.” (Hal 5)
Sosok Almaida dalam cerita ini pun kian menarik. Perempuan berparas cantik dan berjilbab adalah anak bungsu dari seorang pengusaha kaya raya. Kesempurnaan fisik dan kekayaan orang tuanya yang berlimpah ruah tak membuatnya merasa bahagia. Ibunya yang penuntut, kakaknya yang gila seks dan Ayahnya yang lemah pada isterinya. Lalu pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan dalam benak Almaida seperti pada hal. 57 “mungkinkah dirinya salah masuk ke keluarga ini? Jangan-jangan dirinya hanya anak adopsi yang kebetulan wajahnya mirip dengan Hepi.”
Sudut pandang Sinta terhadap perempuan digambarkannya dengan lugas, kuat dan apa adanya. Ia juga tak ketinggalan menanggalkan bumbu-bumbu romance dalam novel ini. Kisah percintaan sembunyi-sembunyi antara Waluyo dan Milla hingga terang-terangan dari seorang perempuan bernama Qoshirotu Thorfi (Ochi), Vanya dan Yassir. Kisah cinta segitiga antara Ochi, Vanya dan Yassir seolah memberi napas baru bagiku sebagai pembaca.
Banyak petuah-petuah yang menyentil soal agama islam. Dan itu tidak terkesan menyindir. Namun, memberikan pemahaman lain dalam menyikapi suatu permasalahan. Sentilan itu ditujukan kepada mereka yang berumah tangga. Seperti pada di hal. 250 “Adakalanya suami bukan teman, Nduk. Kadang-kadang suami malah jadi musuh. Satu-satunya teman kita hanya Gusti Allah. Bekal utama seorang isteri adalah kesabaran. Pernah Kanjeng Nabi memuji seorang perempuan yang lewat di depannya dan mengatakan ia calon penghuni surga karena sabar.”
Novel yang diterbitkan Lingkar Pena Kreativa tahun 2010 seolah menyibak mata hati dan batinku untuk menyikapi kehidupan nyata. Bahwa kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia adalah kuasaNya. Yang hidup berjibaku sebagai penjaja cinta, hidup dalam ketidakbahagiaan meski melimpah kekayaan hingga perempuan yang mendambakan sejatinya cinta karena tak dikarunia rahim yang sempurna. Semua karena kekuasaanNya.*



Sabtu, 21 Februari 2015

Sebuah Renungan


Siang itu matahari begitu terik. Kulit tangan hingga pori-pori kepalaku terasa seperti terbakar. Sesekali aku menyeka keringat yang membanjiri kening dan hidungku. Entah mengapa dadaku bergolak ketika ban roda dua menggilas jalan raya Cijawa. Dalam hati aku membatin mengapa di sepanjang jalan raya Cijawa pohon-pohonnya harus ditebangi. Padahal pohon-pohon yang berjejer di sepanjang bibir jalan raya itu sangat bermanfaat. Sekedar untuk melepas penat dan berteduh kala hujan datang tak terduga. Ya, pohon-pohon itu akan menjadi payung alam bagi pejalan dan pengayuh roda dua seperti aku ini.
Proyek pelebaran jalan yang sudah berjalan beberapa bulan belum juga kunjung selesai. Setelah Kebon Jahe dan Cijawa Masjid ditanami beton-beton menggantikan pepohonan. Takkan lama lagi pohon-pohon yang bejejer di bibir jalan Sekolah Menengah Kejuruan 1 dan 2 pun juga akan ditumbangkan. Beton-beton tertancap dan mengakar di tanah. Tidak ada akar pohon. Tidak ada penyerapan.
Apa jadinya jika pepohonan tak ada satupun yang berdiri kokoh di sana. Bukankah akar pepohonan dapat membantu proses penyerapan air. Bila tak ada pepohonan bukan tak mungkin jika hujan mengguyur maka banjir akan melumat aspal jalanan. Lalu siapa yang akan dirugikan. Kalau bukan kita si pengguna jalan kecil ini.
Perasaan yang kian berkecamuk dalam dada dan hati segera kusingkirkan. Aku tak mau bila terus menerus diliputi prasangka yang bukan-bukan, terlebih memandang arti sebuah kedudukan. Bagiku yang kuat hanya milik mereka yang berkuasa. Aku hanya satu diantara banyak masyarakat yang tidak memiliki kuasa penuh untuk mengubah apapun. Terlebih menata panggung kehidupan negeri ini.
Kehidupan yang sedang kujalani sudah rumit sekaligus pelik. Mengapa aku mesti menjejalinya lagi dengan hal-hal seperti itu. Lebih baik aku memikirkan cara agar aku dapat mengeluarkan adik-adikku dari jerat kemiskinan. Bukan miskin harta. Bukan. Tapi miskin percaya diri. 
Sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara, hanya aku yang melanjutkan sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dan itu tidak mudah memang. Aku harus bergulat dengan berbagai argumentasi mulai dari pergolakan dalam keluarga hingga semua yang berada dalam tubuhku. Semuanya saling berdesakkan di kepalaku. Klimaknya aku meledakkannya dengan menyerahkan kepada sang Murabi. 
Aku tak pernah menyesal terlahir dari rahim seorang perempuan yang mengandalkan tenaganya sebagai tukang pijat. Lalu Bapak yang ketika masih muda dan kuat menyandang profesi sebagai pedagang ikan di pasar tradisional. Dari merekalah aku banyak belajar bagaimana menyikapi dan memaknai sebuah kehidupan. Dan dari mereka jualah aku banyak bercermin bagaimana sikap yang diambil saat  kemiskinan itu terus menyelimuti. Aku mematahkannya lewat membaca buku. Buku-buku yang kubaca nyatanya memang kian memantapkanku dalam memandang masa depan.

Kini diusiaku yang telah menginjak 22 tahun, aku sedang berusaha melawan kemiskinan. Tak hanya kemiskinan materi yang menghadangku tetapi ilmu dalam keluargaku. Demi sekolah, aku melakukan apapun. Asal tidak menjual diri. Aku akan menuntut ilmu setinggi mungkin.  Dan sebagai mahasiswa tingkat akhir kewajibanku hanya satu yakni mensegerakan kelulusan. Lalu menunaikan ikrar batin dan hati yang begitu mendamba untuk merantau.*

Minggu, 15 Februari 2015

Manusia Langit; Bukan Manusia Biasa


Untuk memperkuat pendapatku pada novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya maka kubaca sekali lagi. Aku cermati setiap alur ceritanya. Bahkan sesekali aku akan mengulangi setiap kalimat yang dibangun penulisnya dengan seksama. Agar aku dapat menangkap maksud ceritanya.
Membaca novel etnografis yang diterbitkan oleh Kompas  setebal 207 halaman bercerita tentang manusia langit pada suku Banuaha di pulau Nias tak ubahnya sedang membuka buku sejarah. Meski si penulis meracik isinya dengan membumbuhkan alur cerita yang bergaya fiksi namun tetap saja ia tidak menghilangkan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Betapa tidak ia ingin mengajak si pembaca untuk mengingatkan kembali kehidupan di masa prasejarah. Masa dimana keberlangsungan hidup manusia kala itu hanya melakukan berburu dan berladang (hal 33). Manakala tempat peburuannya telah habis maka mereka akan berpindah tempat. Sehingga tempat tinggal mereka tidak pernah nomaden.
Kemunculan tokoh perempuan Arab yang berparas cantik pada bagian prolog oleh si penulis bukan tak ada maksud sepertinya. Justru menjadi kekuatan yang mampu menarik si pembaca agar penasaran. Rasa penasaran yang datang begitu saja membuat si pembaca tak rela jika tak menuntaskan bacaannya.
Lalu si pembaca digelayuti pada berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu berdesakan dalam pikiran si pembaca. Seperti siapakah perempuan yang berulang kali menitikkan air mata itu? Mengapa ia menitikan air mata setelah membaca buku itu? Buku apa sebenarnya yang dibaca oleh perempuan itu? Lalu apa hubungannya periuk dan bayi dengannya? Siapakah anak yang sedang terlelap di sampingnya? Semua pertanyaan ini akan satu persatu terjawab usai kita membacanya.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Mahendra. Seorang dosen arkeolog muda yang terkenal gila kerja diantara teman-temannya (hal 50). Kehidupannya hanya didedikasikan untuk belajar dan bekerja (hal 55). Tetapi, pendirian Hendra berubah seketika setelah mengenal Yasmin salah satu mahasiswinya.
Berawal dari diskusi kecil di kantin kampus. Lalu merambah ke tempat biliar di Cineta Jogya. Mereka yang selalu bersama-sama membuat kebersamaan yang berlangsung lama itu menumbuhkan benih-benih cinta. Ini dipertegas Hendra (hal 51), “Yasmin, setelah setahun kita sering bersama dan bicara, apakah itu tidak berarti buat Yasmin? Apakah Yasmin tidak menyadari bahwa kita saling suka?”
Pergolakan hati dan batin yang dirasakan Hendra semakin mengakar hingga ia mengukuhkan niatnya untuk melamar Yasmin segera. Sayang, rencana Hendra tidak disambut baik oleh kedua orang tua Yasmin. Hingga kejadian yang sama sekali tidak diinginkan Hendra terjadi. Yasmin mengandung. Itu ditegaskan oleh sms Yasmin sebelum dia benar-benar menghilang bagai ditelan bumi.
Mas, aq skrg lg ngandung anak qt. Aq tdk mau ganggu hidup Mas yang sdh bgt  mapan. Jd, utk yg 1 ini biar aq yg nanggung sendiri. Tlg jgn cari aq’ (Hal 62).
Selang dua bulan Hendra mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Penemuan mayat perempuan yang diduga seorang mahasiswa terbujur kaku di sebuah kamar hotel di pusat kota Yogya. Hendra meyakini bahwa perempuan itu adalah Yasmin. Hatinya hancur. Ia patah hati. Hingga tak ayal ia dihinggapi rasa bersalah yang mendalam.
Yasmin dan kampus adalah sederet kenangan indah di kota pelajar yang terpaksa ditinggalkan Hendra. Bukan karena bosan, melainkan Hendra merasa ia tidak pantas hidup di universitas yang berisi orang-orang terhormat (hal 65). Kejadian yang telah memukulnya keras itulah kemudian mendamparkannya di dunia yang masih terisolasi.
Penemuan periuk bayi di ladang milik Pak Mbowo Laiya yang tengah diteliti oleh Hendra ternyata menguak cerita silam orang Belada yang telah lama punah. Dan masa lalu Hendra yang memilukan. Juga seorang anak suku Banuaha, Sayani.
“Ibarat  sedang menyusun kalimat, seorang arkeolog  harus menemukan benang merahnya dengan baik,” (Hal 3). Ya, seorang arkeolog adalah seseorang yang seharusnya mampu memecahkan suatu masalah. Seperti cerita yang masih diyakini akan kebenarannya hingga kini bahwa bayi-bayi di masa orang Balada di Pulau Nias dimakan oleh roh jahat.
“Menurutku yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka, bukan roh jahat. Sekarang bayangkan, bagaimana sebuah keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuanya masih menyusui dan melahirkan bayi? Untuk bertahan hidup, mau tidak mau yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun atau dihanyutkan di sungai. Si orang tua kemudian berteriak histeris. Lalu mereka membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh rih jahat. Tidak ada yang meragukan cerita itu. tidak ada orang yang menyalahkan orang tua bayi yang malang itu.” (Hal 21), pendapat yang terlontar dari mulut Hendra saat diminta Ama Budi tak ayal membuat tubuh Sayani bagai disambar petir di siang bolong. Ia tidak benar-benar percaya. Tetapi setelah ia mendengar penuturan Ayahnya akan kebenaran itu.  “Sebenarnya hal itu yang ingin aku ceritakan kepada Sayani, tapi lidahku terasa sangat kaku karena kebohongan yang selalu kupendam di sini. Aku pun pernah melakukannya, aku pernah membunuh bayiku sendiri ketika kami masih sering bermukim di ladang. Itu anak kedua kami, bahkan kami belum sempat member nama.” (Hal 22)
Kepada Ama Budi kepingan-kepingan masa lalu akan nasib seorang perempuan yang sangat dicintainya menyeruak kembali. Dua tahun berada diantara orang-orang yang masih memegang kuat adat istiadat dengan sejarah nenek moyangnya yang kental. Tak membuatnya serta merta mengubur masa lalunya yang kelam. Perkenalan yang manis dengan perempuan Banuaha, Saita yang berujung pada perpisahan yang menyakitkan. Perpisahan yang memilukan di pulau Nias membawanya kembali pulang.  “Kamu harus kembali ke langitmu, bukan langitku.” (Hal 186)
Ia rindu Jogjya. Ia rindu hiruk pikuk berada di kampus. Ia rindu Yasmin. *