Senin, 04 Maret 2013

Dari Gunung Pinang Hingga ke Banten Lama

Pagi itu (09/12), langit enggan menampakan cahayanya. Awan gemawan yang kehitaman seolah tak ingin beranjak pergi dan menjauh. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena tergantikan dengan sinar mentari yang cerah. Kulirik jam yang bertengger di ruang tamu telah menunjukan pukul 07.00 WIB. Segera kulangkahkan kaki menuju Rumah Dunia.
Jalanan masih basah. Hujan semalam yang mengguyur Kota Serang rupanya meninggalkan sisa-sisanya pada pucuk dedaunan. Bentuknya yang bergelembung dan berada di ujung-ujung daun, bergelantungan bagai lampu-lampu natal ketika sang mentari menyorotinya. Indah sekali.
Kami menempuh perjalanan Serang-keramat Watu menuju Gunung Pinang dengan menggunakan mesin roda dua. Tiga motor banyaknya dengan masing-masing mkami konvoi pergi bersama-sama. Membawa semangat dan suka cita mendaki gunung Pinang.
Vario hitam yang dikendarai Dimar terus melaju kencang. Menyibak jalanan yang tidak begitu ramai. Meliuk-liuk diantara kendaraan yang bobotnya lebih besar ketimbang motornya. Aku yang diboncengnya sebenarnya was-was. Bercampur cemas. Kucoba tuk menenangkan sejenak pikiran yang sempat mengganggu. Dengan memberikan keyakinan pada hati bahwa kita pasti akan baik-baik saja.
Gunung Pinang sudah tampak di ujung sana. Berarti jaraknya sudah dekat. Aku ingin cepat sampai di sana. Menghirup udara yang segar dan bebas dari polusi. Kedua mataku tidak akan berhenti belarian di setiap deretan pepohonan besar dan tentunya  sudah berpuluh-puluh tahun berada di sana. Mendengar suara cericit burung-burung liar yang sedang menarik si betinanya. Serangga-serangga yang sedang hinggap dibebatangan pohon-pohon. Kupu-kupu yang menari-nari bersama pasangannya. Aku jadi kangen dengan suara-suara sewaktu mendaki Gunung Pulosari, Pandeglang beberapa bulan yang lalu. Barangkali aku akan menemukannya lagi. Suara hewan yang melengking-lengking. Membahana di segala penjuru mata angin.
Akhirnya kami sampai di bawah Gunung Pinang. Kedua mata kami langsung disambut oleh sekelompok baikers yang notaben dari mereka adalah penggiat sepeda balap. Kedua mataku membulat. Aku berdecak kagum saat melihat sepeda-sepeda balap itu. Sumpah itu Kerennn abiezz!!!
Dengan membayar sejumlah uang sembilan ribu rupiah kami mulai mengangkat kaki pelan-pelan namun pasti. Teman mendaki kami telah bertambah seorang lagi. Dia membawa anaknya dalam pendakian ini. Aku hanya senyum-senyum.
“Cuma sejam kok dek nggak bakal kerasa kalau bareng-bareng gini, mah” Seloroh si Ibu sambil memberikan 4 tiket kepada Kak Jack.
Aku menatap medan di depanku yang lurus dan panjang.  Diapit oleh pepohonan besar dan tinggi di sisi kiri kananya, yang umurnya diperkirakan sudah lebih dari sepuluh tahunan.  Aku mulai menapaki jalan setapak yang panjang dan tentu tak lupa kuiringkan sebait doa kepada yang Maha, semoga perjalanan hari itu diberi kelancaran.
Aku dan rekan-rekanku yang lain sudah barang tentu tidak ingin kehilangan moment pendakian ini sia-sia belaka.  Dan harus diabadikan. Setidaknya beberapa foto-foto bertengger di Facebook atau twitter. Jiahhh, dasar. Langsung saja jurus narsis pun di keluarkan. Jepret, jepret. Cukup. Kami tersenyum puas.
Baru setengah mendaki, berat kakiku sudah mulai terasa. Kepala terasa panas sekali. Napas yang tidak beraturan. Semuanya jadi satu. Entah sudah berapa kali teguk air putih menghilangkan dahagaku. Keringat bercucuran disekujur tubuhku.
Disepanjang perjalanan itu, mataku hanya disuguhi deretan pepohonan. Tidak ada yang lain. Bahkan suara binatang yang ingin sekali kudengarkan saja, telingaku belum menangkapnya. Padahal aku sudah berjalan sejauh ini. Namun, sejauh ini belum ada yang bisa membuatku terperangah atau berdecak kagum. Tetapi ketika sekelompok baikers hendak melewati aku. Kakiku berhenti seketika. Aku jepret aksi mereka yang sangat menakjubkan dengan kamera handphone-ku.
Pelan-pelan rasa kecewaku yang sempat melanda sedikit terobati. Di susul kemudian dengan pemandangan yang sangat luar biasa di belakangku. Aku membelalakan kedua mataku sambil menyimpulkan senyuman sambil mengatakan, “KEREN.” Hingga berulang-ulang kali. Ini baru weekend. Kataku dalam hati.
Perjalanan ini berakhir di tanah Kesultanan Banten Lama. Beberapa objek wisata yang ada di Banten Lama tidak luput dari tinjauan kami. Mulai dari Masjid Pacinan, Surosowan, Viara Avalokitevara. Dengan tenaga yang dikerahkan itu tidak terlepas dari makan siang yang sangat spesial.  Soto ayam buatan temannya Kak Jack. Terima kasih ya.
***