Selasa, 30 Oktober 2012

MENDAKI GUNUNG PULOSARI

Oleh Suni Ahwa


Perjalanan Pertamaku Mendaki
            Mendaki atau tracking adalah hal yang aku inginankan sejak dulu. Terlebih setelah aku selesai membaca sebuah Novel Balada Si Roy, buah karya Gol A Gong. Sejak saat itulah jiwaku terasa terpanggil untuk mendaki. Darahku selalu berdesir saat aku membayangkan bagaimana kalau aku benar-benar melakukannya (meski aku seorang wanita).
Dan hari itu, Minggu (06/12/2012) aku dan seorang penggemar dunia tracker mengajakku untuk menaklukkan Gunung Pulosari di Pandeglang. Tepatnya di Desa Cilentung atau Kampung Masjid, Pandeglang. Kami berangkat dari Serang sekira pukul 12.30 WIB. Perasaanku campur aduk waktu itu. Mulai dari  bahagia, senang sekaligus tidak menyangka kalau aku akan mendaki gunung. Tapi itulah kenyataannya
“AKU NAIK GUNUNG!aku membatin. Besorak suka cita dalam hati.  
Arif, mahasiswa Unsera memperkirakan mengenai jarak tempuh sampai ke Gunung Pulosari akan memakan waktu 1 jam. Namun dugaannya meleset. Sungguh tidak disangka. Kemacetan terjadi ketika memasuki Pasar Baros. Kemacetan sejauh 4 KM itu tidak membuat Arif mengulur-ulur waktu begitu saja. Dia selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyalip dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Bahkan sering kali jalan-jalan yang menganga baik di bahu jalan atau pun di tengah-tengah menjadi sasaran kami untuk memburu waktu. Miris memang menyaksikan potret jalanan menuju tempat wisata yang seperti tak diurus pemerintah. Seolah mata-mata para petinggi menutup mata
“Wajar macet, ini kan hari libur,” kata Arif mencoba menghiburku. 
“O….” mulutku membulat. Pertanda bahwa sudah mengerti.
Dengan mengendarai sebuah Bajaj Pulsar P135 LS berwarna hitam dan gagah itu, kami melesat bak anak panah yang lepas dari busurnya. Kami akhirnya terbebas dari kemacetan dan bising kendaraan. Gigi Bajaj itu pun dia naikkan menjadi 5 lipat kecepatan dari biasanya. Yah, dengan kecepatan 115km/jam kami  pun menyibak jalanan yang sedikit lengang. Ragaku seolah terbang terbawa angin siang itu. Tapi aku sangat menikmatinya. Sungguh perjalanan yang sangat luar biasa. 
Mataku memandang ke segala penjuru mata angin. Tak kubiarkan sedikit pun lukisan alam ini luput dari pandangan mataku. Dan ketika memasuki area persawahan yang berundak-undak. Tiba-tiba bola mataku tertumbuk pada satu titik. 
“Lihat…” Arif menunjukkan tangannya pada puncak gunung di sebelah kiri kami. “Asap yang keluar itu adalah kawah gunungnya, loh” Arif menjabarkan. 
Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasannya. Yah, pegunungan yang kawahnya tampak jelas itu bediri kokoh dihadapan kami. Seiring dengan laju roda dua yang kami naiki Kedua mataku saling berkejaran dan berlompatan dari satu pemandangan ke pemandangan lainnya, yang juga tak kalah menakjubkan.

Mengenal Alam Lebih Dekat 
            Aku amati sebuah plang di depan gang masuk yang bertuliskan ‘Selamat Datang di Kawasan Wisata Gunung Pulosari’. Bajaj Pulsar milik Arif diparkirkan pada sebuah rumah, bangunan yang sebenarnya tak layak ditempati dan disebut sebagai rumah. Namun begitulah adanya. Lalu seorang laki-laki separuh senja menghampiri kami. Seperti sudah kenal sebelumnya, Arif dan si Bapak itu pun larut dalam perbincangan yang cukup panjang. 
            Aku mencuri-curi dengar. Ada beberapa yang bisa aku tangkap dari percakapan itu. Mau numpang shalat. Yah,  hanya sebatas itu yang bisa aku pahami. Selebihnya, aku tidak mengerti. Selagi Arif menunaikan shalat dhuzur. Aku sempatkan untuk meluruskan badan pada salah satu matras. Setelah menempuh perjalanan 1,5 jam di atas motor rasanya pinggangku ngilu. Tiba-tiba seorang Ibu yang tegah hamil muda muncul dari balik tembok. Aku tersenyum, suatu cara untuk mencairkan suasana. Ibu muda itu pun balik tersenyum kepadaku. 
            “Tinggal di sini, Bu?” Tanyaku sekenanya. 
            “Iya, Teh,” Jawabnya seraya membenahi jemuran pakaiannya.
            Aku kemudian bertanya ini-itu. Dari informasi yang aku dapat, ada sekitar 600 warga yang tinggal di Kampung Cilentung ini. Rata-rata dari mereka rutinitas sehari-harinya dihabiskan untuk meladang dan bertani. 
            Aku tengok jam di handphoneku. Jarum jam telah menunjukkan tepat pukul 14.10 WIB. Sebelum kami menanjak ke Gunung Pulosari ini, wajib hukumnya untuk melapor atau konfirmasi terlebih dahulu kepada penjaga gunung. Sambil memberitahu maksud atau tujuannya melakukan pendakian ini. Arif membayar tiket masuk dengan kocek sebesar RP. 5000.00,- Kemudian kami akan mengantongi selembar kertas yang bertuliskan nomor telephone. 
            Selesai berdoa, kami mulai melangkahkan kaki memasuki belantara hutan. Yang entah bagaimana rupa dan isi di dalamnya. Ini adalah kali pertama aku menjejakkan kaki ke gunung. Aku tampik rasa khawatir yang sempat menggelayutiku. Aku yakin Arif bisa menjadi pemandu yang baik untuk perjalanan mendakiku. Pasalnya Arif sudah sangat sering naik turun gunung. Jadi tidak akan terjadi apa-apa. Allah akan menjaga hamba-hambanya. Dan aku percaya itu.
            Jalur pertama jalanan masih beraspal. Jadi belum ada tantangan. Dan masih bisa kulewati.  Namun aku sudah disuguhkan dengan pemandangan yang sangat asri. Hijau dan sejuk. Lalu mataku tertumbuk pada Pohon Kakao (coklat) yang tengah berbuah. “Hmmm, jadi pingin metik Kakao,” kataku dalam hati. Baru juga aku mengutarakan kalimat itu, Arif menjelaskan mengenai aturan seorang pendaki. Memetik sembarangan buah atau merusak pohon teryata itu adalah salah. Dan pantang untuk dilanggar. Tidak boleh seenaknya kita memetik tumbuh-tumbuhan apapun selagi tidak kita butuhkan. Lalu aku tarik kembali kalimat yang baru aku lontarkan dalam hati itu. 
            Gemerisik air dalam bambu seolah menggelitik telingaku. Air yang berasal langsung dari mata air itu mengalir dan akan menjadi sumber utama untuk beraktivitas warga Kampung Cilentung. Lalu tiba-tiba aku menangkap bunyi yang keras dan memekakan telinga.
            “Bunyi apa itu,” selorohku ingin tahu. 
            “Bunyi itu berasal dari binatang yang bernama kolera,”           
            “Ohh…” mulutku membulat seraya mengangguk-angguk. 
Lalu kami melanjutkan kembali perjalanan yang sempat terhenti. Langkahku masih stabil dan bisa kukendalikan. Belum ada efek yang terasa. Tetapi, saat kakiku menapaki jalan yang berbatu besar-besar dan berliku dan curam, barulah napasku bagai berkejaran, kembang-kempis. Aku seperti habis berlari beratus-ratus meter saja. Kepalaku juga jadi tak karuan. Panas rasanya ubun-ubunku. Haduh, macam-macam deh. Pernapasanku benar-benar kacau. Aku jadi diceramihin lagi sama Arif. <p>
            “Minum dulu nih,” Arif menawarkan sebotol minuman yang baru dibelinya di pertengahan jalan. Tanpa berpikir panjang langsung saja aku sambar air mineral itu. Lalu aku teguk hingga dahagaku hilang. <p>
            “Kalau kita mau minum. Usahakan jangan langsung ditelan. Tapi ditahan dulu dimulut  baru deh pelan-pelan kita telan.” 
            “Aku salah lagi, ya?” 
            “Yah, nggak apa-apa. Kamu kan baru pemula. Jadi bisa di tolerir. Hehehe,”
            “Hmmm…” 
             Aku dapat ilmu lagi. Ternyata menjadi seorang pendaki memang gampang-gampang susah. Dari hal yang kecil saja seperti, meminum air, mengambil napas sampai berjalan pun ada tehniknya. 
            Tiba saatnya kami berhenti. Tanda-tandanya sudah ada di depan mata kita. Sebuah anak sungai nan bening dan bersih mengalir dan memotong perjalanan kami. Kami menyebrang. Dengan keadaan jalan yang sudah kembali normal. Tidak lagi berbatu. Tetapi curamnya melebihi dari yang kukira. Batu-batu besar menganga di sisi kanan dan kirinya. Lambat laun gemericik air semakin jelas terdengar. 
            “Itu suara air terjun. Sebentar lagi kita sampai,” Kata Arif menegaskan. 
            Dan… Wowww!! Air terjun itu sudah tepat di depan mataku. Aku segera menghampirinya. Segala beban yang syarat akan lelah dan letih semuanya terbayarkan. Aku tak berhenti berdecak kagum. Memuji kebesaran-Nya. Aku menghirup udara dalam-dalam. Sejuk kurasa. 
            “Selamat datang di Curug Putri!” aku berteriak dalam hati. Ingin segera aku rasakan segarnya air pegunungan ini. Kusentuh air yang sedang mengalir dari paralon. Aku tengadahkan tanganku. Aku membasuh wajah hingga berkali-kali. Pikiranku langsung, plong. Lalu aku meminumnya. Dan, subhanallah. Airnya sangat segar sekali. Bahkan berasa. 

Hujan Mengiringi Kepulanganku
            Perjalanan mendaki ini sepertinya tidak bisa diteruskan hingga ke kawah. Karena jarak tempuhnya masih 1000 Meter lagi. Tidak bisa dibayangkan jikalau kita bersikukuh untuk tetap mendaki ke sana. Kami akan turun gunung tanpa menggunakan alat penerang apapun. Sementara senja mulai merayap. Bahkan langit pun mulai gelap. Bertanda hujan akan segera turun. Rasa dingin pun mulai menghinggapi tubuhku. Aku dekap erat bodypackku.
            “Pulang, yuk?Aku mengajak Arif yang tengah asyik dengan kameranya. 
Arif mengangguk setuju. 
            Keputusan kami sudah bulat. Kami mesti turun!
            Kami menyusuri perjalanan yang sama dengan waktu kita naik. Hanya saja sedikit berbeda. Entah ini perasaanku saja atau semua orang juga merasakannya. Pada saat aku turun, bawaanku seperti ingin berlari. Mungkin karena ada gaya gravitasi bumi. 
Tiba-tiba rintik-rintik hujan menyembul diantara rerimbunan pepohonan yang menjulang tinggi. Mengenai kepala kami. Tapi untungnya tidak menjelma menjadi hujan lebat.  Hanya sebatas gerimis saja. 
            “Sayang yah, kita nggak bisa naik sampai ke kawah,” sesalku pada Arif.
            Sangat disayangkan memang. Tapi, tenang saja kesempatan untuk kembali lagi masih terbuka lebar. Suatu saat nanti, aku akan menyambangi gunung Pulosari lagi.     
Syukur alhamdulillah kami sampai dengan selamat. Aku lihat jam di handphoneku. Pukul 16.00 WIB. Sambil istirahat, kami bercengkrama dengan penjaga gunung. Selama kurang lebih setengah jam istirahat, segera kami pulang. Meninggalkan Kawasan Wisata Gunung Pulosari yang penuh keindahan dan dengan perasaan rindu untuk kembali mendaki. 
Salam ransel!