Sabtu, 28 November 2015

Keluarga Baru di SGI 16


            Terkejut, terharu, dan bahagia. Semuanya campur aduk jadi satu malam itu. Menjadi sebuah kebahagiaan tak terkira dan takkan pernah kulupa.

Kita tak pernah bertemu sebelumnya dan tak pernah bersama tetapi aku merasa diistimewakan. Meskipun harus basah kuyup diguyur air dua ember besar dan ditimpa air hujan. Tetapi senyum yang mengembang di sudut bibirku ini menandakan kalau kalian memang layak menjadi keluarga baruku hingga ajal memisahkan kita.

            Kedekatan kita memang belum lama. Bahkan dapat dihitung dengan jari. Tetapi, ikatan tali persaudaraan yang teman-teman Sekolah Guru Indonesia berikan padaku malam itu melebihi kebersamaan kita selama 4 hari.

            Kita dipertemukan di sini bukan karena tanpa alasan. Semua sudah direncanakan oleh sang maha pemberi jalan. Ya, Allah SWT telah merancang pertemuan kita di Sekolah Guru Indonesia. Dan kita yang lolos seleksi dari 250-an pendaftar adalah orang-orang terpilih untuk menjadi pahlawan. Pahlawan pendidikan. 

Satu pintu untuk menjadi pahlawan pendidikan memang telah terbuka lebar. Namun, satu hal yang harus diluruskan. Adalah paradigma kita dalam memandang tugas seorang guru. Yang hingga detik ini aku merasakan adanya perbedaan dengan pendidikan kekinian. Tumpang tindih.

Persoalan menjadi guru terkadang berkecamuk di dalam dada. Tanggung jawab menjadi seorang guru amatlah besar. Dan menjadi guru yang seperti apa nanti, ya tergantung diri kita.

Menjadi guru yang nyasar? Atau menjadi guru bayar? Atau menjadi guru sadar. Semua tergantung pada diri kita sendiri. Aku merasa beruntung berada diantara orang-orang  yang sadar akan dunia pendidikan. Untuk menempatkan guru pada proporsinya. Begitupun teman-teman yang lain. Meskipun kita berbenturan dengan karakter, kemampuan, bahasa dan adat istiadat yang ada. Namun, kita berusaha untuk melebur jadi satu. Untuk sama-sama mengubah pendidikan yang masih banyak cacat di sana sini. Hingga hal yang paling penting dari tubuh pendidikan, yakni strukturnya.


 Kita yang sama-sama memiliki tujuan dan mempunyai mimpi yang sama. Sama-sama ingin memperbaiki pendidikan di Indonesia. Mencerdaskan anak-anak bangsa adalah satu tugas penting dari banyak tugas lainnya yang sedang menanti kita di penempatan. Seperti jargon yang melekat pada tubuh Sekolah Guru Indonesia. Bahwa kita mestilah Bangga menjadi guru,  karena kita Guru berkarakter yang ingin menggenggam Indonesia. Untuk perubahan pendidikan yang lebih baik. Semoga.
*

Senin, 23 November 2015

Peran Guru SGI Pada Dunia Pendidikan


Takkan pernah menyerah
Kami guru Indonesia
Selalu tulus mengabdi
Kami guru Indonesia
Mengajar dengan hati
Mendidik sepenuh jiwa
Kamilah guru Indonesia

“Siapapun bisa menjadi guru,” ujar Bambang Suherman salah satu pembicara sekaligus Direktur Komunikasi dan Fundrising di Studium Generale yang mengangkat tema Optimalisasi Kepemimpinan Guru dalam Masyarakat, Senin. Penekanan pada kata kepemimpinan menjadi poin plus yang harus dimiliki oleh para peserta SGI Professional Class angkatan 16 tahun ini.

Pernyataan bahwa siapapun bisa menjadi guru telah dibuktikan oleh para peserta Sekolah Guru Indonesia. Sebanyak 20 peserta dari seluruh Indonesia, beberapa dari mereka memang bukan dari pendidikan. Salah satunya adalah Arby’in Pratiwi. Perempuan muda yang lulus dari Universitas Jenderal Sudirman dan mengambil jurusan Peternakan datang dari Purworejo, Jawa Tengah. Ia mengaku keikutsertaannya dalam program yang dibuat oleh Dompet Dhuafa adalah karena ia mencintai profesi sebagai guru.  

Menjadi seorang guru tidak akan terlepas dari kompetensi. Kompetensi seorang guru mencakup banyak hal. Standar kompetensi yang sudah termaktub dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 menyebutkan bahwa ada 4 kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru. Diantaranya adalah pedagogik dan kompetensi kepribadian, professional dan kompetensi sosial. Dari berbagai kompetensi yang disebutkan maka akan terwujud penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru.

Keterampilan mengajar yang baik. Akan menghasilkan anak-anak didik yang baik pula. Dan mengaplikasikan tiap butir kompetensi sedini mungkin dapat meminimalisir kecacatan pendidikan di Indonesia. Terutama bagi guru-guru sekolah dasar. Yang belum banyak mengetahui betapa pentingnya kompetensi seorang guru. Di sinilah peran para guru di Sekolah Guru Indonesia pada program professional class. Selama 3 bulan akan digodok agar kompetensi guru yang diharapkan benar-benar matang. Sebelum akhirnya ditempatkan selama 1 tahun untuk pengabdian.

Pengabdian mahasiswa Profesional Class tahun ini memang cukup berbeda dengan angkatan yang lalu. Tolak ukur seorang guru tidak hanya meliputi kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Yang digugu dan ditiru oleh siswa-siswanya. Yang ruang lingkupnya sebatas sekolah. Melainkan melebur dengan masyarakat. Seperti pada butir kompetensi umum yang isinya bahwa mahasiswa SGI harus memiliki kemampuan untuk membuat perubahan dengan membuat program kreatif pemberdayaan sekolah atau masyarakat.

Seperti yang selalu digaungkan oleh Manager Sekolah Guru Indonesia, Abdul Khalim selepas Apel pagi. Penekanan menjadi seorang pemimpin seperti alarm yang sudah tersimpan dan ketika waktu itu tiba akan berbunyi.

“Kalian tidak hanya bertugas sebagai seorang guru di penempatan nanti. Tetapi, menjadi seorang pemimpin.” Tegas Abdul Khalim sembari memasang wajah serius. Lalu beberapa detik kemudian ia mencairkan suasana dengan melukis sebuah senyuman.

Selain ingin menonjolkan sosok pemimpin. Pada angkatan Professional class juga menerapkan agar seorang guru mampu menuangkan segala idenya dalam bentuk tulisan. Ini merupakan kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh mahasiswa calon guru-guru masa depan.*


Sekantong Sampah untuk Sebungkus Roti


            Minggu (23/11), projek sosial yang digagas oleh mahasiswa SGI Professional Class sekitar pukul 06.00 WIB pagi itu berjalan lancar.  Pada projek sosial ini, mahasiswa SGI Profesional Class melibatkan anak SMART Ekselensia. Tidak semua anak dilibatkan di sini. Hal ini dikarenakan di dalam Lembaga Pengembangan Insani terdapat dua sekolah. Maka dipilihlah siswa SMP mulai dari kelas 1, 2 dan 3.

Gerakan peduli sampah. Begitu bunyi  tagline pada spanduk yang terbuat dari kertas karton yang di gambar dan di warnai dengan krayon. Penggagasnya adalah Rokhani, perempuan asal Sumbawa, NTB. Ia merasa bahwa kedekatan antaranya dan siswa-siswa SMP dan SMA Ekselensia  selama dua pekan ini masih seperti orang asing. Padahal mereka sudah tinggal seatap dengan yayasan yang sama.

Keinginan yang serupa pun dialami para peserta lainnya. Pergolakan batin itu pun menemukan titik temu saat obrolan antara peserta laki-laki dan siswa SMART di pantry terjadi. Maksud dan tujuan tak lupa dipaparkan bertahap. Tidak hanya kepada siswa namun pembina asrama juga punya andil di sini.  

Keinginan untuk menumbuhkan rasa keakraban bukan hanya antara mahasiswa SGI. Melainkan antara senior dan junior dapat mempererat hubungan sosial yang lebih baik. Menurut Rokhani, masa pengabdian dimulai dari titik terdekat. Dan anak-anak SMP SMART adalah objek paling dekat. Mereka juga masyarakat.

Sebanyak 70 anak-anak berkumpul di depan masjid. Jalinan keakraban antara mahasiswa dan siswa-siswa lain tampak begitu berbeda ketika mereka dikumpulkan dan saling memperkenalkan diri masing-masing. Canda tawa memberikan energi positif bagi keduanya. Agar siang tak cepat beranjak maka gerakan peduli sampah pun segera dilaksanakan.

“Senang banget kak. Aku jadi kenal dengan kakak kelas.” Seru Dimas (12) yang malu-malu menjawab pertanyaan dari mahasiswa SGI sehabis isya di tangga paviliun 4. Lalu sebuah harapan menguat bahwa akan ada efek besar pada diri Dimas dan anak-anak lainnya. Akan sebuah kesadaran betapa pentingnya menjaga lingkungan. Penukaran sekantung sampah dengan sebungkus roti hanya untuk menyemangati keras mereka dalam mengumpulkan sampah.*


Senin, 16 November 2015

Mimpiku di Mulai dari Sekolah Guru Indonesia


Pagi yang puitik oleh tangis
Sepertinya menangis adalah caraku untuk membuat hati tenang. Mungkin menurut sebagian orang terlalu banyak menangis dibilang cengeng. Tetapi, bagiku menangis berarti menumpahkan segala kegundahan yang menyesakkan. Dan akan merasa baikan bila tangis itu pecah.
Seperti semalam itu airmataku terus saja mengalir deras bila membayangkan peristiwa pagi tadi. Puncak keharuan yang tak berujung itu begitu kentara sepulang dari Rumah Dunia. Dan tak kunjung berakhir saat bus melaju membawaku menjauh dari emak yang berdiri kokoh di bahu jalan.
Sebenarnya aku sudah menahan bendungan airmata ini dari jauh-jauh hari. Agar tidak terlalu mengharu biru. Tetapi, kenyataan tetaplah kenyataan aku yang terlalu mudah tersentuh dan perasa pada akhirnya menangis juga. Maafkan aku.

Musim Hujan
Hujan lebat disertai petir menyambut kedatanganku di Bogor. Bus mini Pusaka yang kutumpangi masih terlihat lengang. Hanya ada dua penumpang. Tetapi setelah setengah perjalanan penumpang mulai berjejejan.
Tarif mini bus dari Terminal Baranangsiang ke Jampang sangat variatif. Yang membedakan adalah jarak tempuhnya. Seperti aku misalnya, tarif yang dikenai untuk perjalanan dari terminal adalah sepuluh ribu rupiah.
Hujan sore itu kian menjadi-jadi. Seperti juga supir bus yang kian menambah kecepatan lajunya setelah bangku-bangku kosong terisi penuh. Derasnya air hujan yang menimpa atas bus tak dapat tertampung. Air hujan masuk di sana sini. Aku sampai kewalahan memindahkan koper dari kanan ke kiri.  
Ada perasaan tak karuan yang menghinggapi hatiku. Sebuah pertanyaan pun terlintas dalam benakku. Akan berhentinya hujan. Yang tak jua memberikan tanda mereda bagaimana bisa aku turun dari mini bus ini.
Perjalanan ke Dompet Dhuafa memakan waktu kurang lebih setengah jam. Aku merengkuh perutku. Kuusap pelan-pelan. Gorengan yang mengganjal perutku rupanya tak membuat kenyang. Seketika menu makan siang masakan emak membayang di pelupuk mata.
“Aih kenapa di saat seperti ini aku lemah.” Gerutuku dalam hati.
Ah, sepertinya aku harus terbiasa dengan hujan. Karena, Bogor adalah kota hujan.

Asrama SGI
Aku tertatih-tatih membawa koper dari depan bangunan hingga masuk ke dalam. Ketika sampai di bibir masjid aku berhenti. Sebuah gedung berlantai dua berdiri kokoh dari kejauhan.
Aku lirik koper di lantai. Aku terhenyak dalam beberapa detik. Lalu seorang anak laki-laki yang baru selesai shalat menyapaku. Tanpa basa basi, dia menawarkan dirinya untuk menolongku. Sontak aku mengiyakan. Pada situasi seperti ini, rasanya menerima bantuan begitu kuharapkan.
“Terima kasih dek,”
“Iya, kak.”
Aku tiba di depan paviliun 1 lantai 1. Pintu sudah terbuka lebar, itu berarti sudah ada yang mengisi kamar. Samar-samar aku mendengar suara-suara yang keluar dari kamar 3. Seorang perempuan yang pernah kukenal dan bertemu di Atmajaya keluar. Rupanya dia diantar kedua orang tuanya. Aku menyapa mereka. Ya, dalam tiga bulan ke depan aku dan 10 perempuan di paviliun ini akan berkumpul dan belajar bersama*