Kamis, 10 September 2015

Belajar Memaknai Hidup dari Emak dan Bapak


Yaaah, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku, 
dan sedih karena kita sering berpisah 
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita 
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih? 
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan
(Ws. Rendra-Pamplet Cinta)

Aku tak pernah menuntut apapun dari siapapun. Bahkan kepada kedua orang tuaku sekalipun. Bagiku, menuntut berarti meminta. Dan setiap permintaan adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi. Dan menyekolahkan anak hingga ke jenjang yang tinggi merupakan salah satu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.

Gelar bapakku memang bukan berpangkat jenderal. Dan emak bukan ibu Negara yang baik pula pendidikannya.

“Bapak hanya tamatan SR, Nong. Tapi, bapak pernah mengajar di Sekolah Agama.” Kata bapak suatu hari padaku. Aku tersenyum simpul bila mengingat cerita itu. Pertanda bahwa aku pun turut bangga kepadanya. Meskipun dahulu SR (Sekolah Rakyat) adalah sekolah setara SD. Namun, kemampuan yang dimiliki bapak hingga bisa menjadi seorang pendidik patut kuapresiasi. Paling tidak, semangat mengajar yang sedang kujalani ini juga pernah dilalui oleh bapakku.

Lain halnya dengan emak. Emak memang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sama sekali. Jika bapak bisa sampai sekolah setingkat SD tapi  tidak untuk emak.

Suatu hari emak bercerita padaku. Dia mengaku tak pernah menyesal jika kedua orang tuanya tak sempat menyekolahkannya. Sehingga, haknya sebagai seorang anak pun tak terpenuhi. Tak ada yang perlu disesali, sekalipun kedua orang tuanya telah meninggal lebih dulu. Dan emak dibesarkan oleh neneknya. Baginya, pelajaran tidak melulu diperoleh dari sekolah. Tetapi, sesungguhnya pelajaran itu bertebaran dimana-mana. Dan menjalani lika liku hidup merupakan bagian dari proses dimana dia memperoleh pelajaran  itu.

Memaknai hidup memang tak semudah yang kubayangkan. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah dua hal yang tak pernah dihadapi oleh siapapun. Tetapi, ketika kumendengar perjuangan kedua orang tuaku tempo dulu. Aku pun belajar memaknai kehidupan itu dari sudut pandang yang berbeda. Apalagi ungkapan emak yang menyentil tentang seorang manusia.

Jadi wong urip kuen lake enake. Uwis jadi wong sugih masih kurang, ape maning sing masih miskin.” Ungkap emak.

Ya, kebahagiaan seseorang di dunia yang dapat menjaminnya adalah manusia itu sendiri. Belum tentu mereka yang hidup berkecukupan akan berlimpah kebahagiaan. Pun sebaliknya.

Sentilan ini kemudian menyentuh mata hati dan batinku. Akan sebuah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Emak dan bapak memang tidak memberikan harta berlimpah padaku. Kucuran kebahagiaan yang mereka bagikan pada anak-anaknya terkadang tak sebanding dengan kehidupan mereka dulu. Seperti pada bidang pendidikan, aku menempuh dan memilih untuk meneruskan sekolah adalah caraku membahagiakan mereka. Tak peduli aku terjatuh dan bangun lagi untuk mendapatkan pendidikan itu. Kuyakini mereka mendoakanku. Dan mengharap yang baik-baik padaNya.

Dari emak aku belajar memaknai bahwa ilmu dapat ditempuh dan didapatkan darimana saja. Kepiawaiannya memasak dirasanya adalah hadiah terindah dari kedua orang tuanya kepadanya. Dan keahlian memijat yang diturunkan dari neneknya menjadi penyempurna kemampuan yang dimilikinya. Baginya, itu lebih daripada cukup untuk menebus ketertinggalannya dalam pendidikan.


Dari bapak aku belajar bahwa serendah apapun pendidikan yang ditempuh. Bukan berarti hidup yang nanti akan dijalani terhenti. Roda kehidupan manusia akan berjalan sebagaimana mestinya jika manusia itu mampu mengemudikanya.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar