Minggu, 13 Desember 2015

SGI 16 Gelar Demo Alat Peraga


           BOGOR - Mahasiswa SGI prosfessional class angkatan 16 membuat gerakan peduli pendidikan. Gerakan ini lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya masalah pada beberapa guru yang tidak menggunakan alat peraga ketika mengajar. Permasalahan yang muncul ini juga tidak jauh berbeda dengan sekolah yang pernah dijadikan tempat magang beberapa pekan lalu oleh mahasiswa SGI. Hal inilah, yang kemudian membuat para mahasiswa SGI 16 berinisiatif untuk membuat expo pendidikan. Dengan cara mendemonstrasikan alat peraga dari bahan-bahan tidak terpakai lalu menyulapnya menjadi berdaya guna.
          
       “Penggunaan alat peraga sebagai pendukung pembelajaran sangatlah penting. Dan kegiatan expo alat peraga ini juga diharapkan dapat menggugah inspirasi para guru nantinya. Agar lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan alat peraga untuk mengajar. Sehingga metode ceramah tidak melulu diterapkan. Ini juga dapat membantu anak muridnya dalam memahami pelajaran.” Papar Shalipp Sanri Geolfano (22), ketua kegiatan expo pendidikan yang berasal dari Muna, Sulawesi Tenggara, Sabtu, (12/15) .

Kegiatan yang disuguhkan tidak hanya melibatkan para guru. Di sini, anak-anak murid SDN Tegal Jaya 02 juga ikut terlibat. Sebuah perlombaan juga dibuat untuk memeriahkan acara expo ini. Lomba menggambar yang diikuti oleh peserta kelas 1 sampai 3.

Kegiatan ini didukung penuh oleh Kepala Sekolah dan guru-guru terkait. Salah satunya adalah Iwan W Muharam kepala sekolah SDN Tegal Jaya 02 Bogor yang dipilih oleh SGI 16 sebagai tempat pelaksanaan kegiatan. Ia merasa bersyukur  karena SGI 16 mengadakan kegiatan Expo pendidikan di sekolahnya.

“Semoga dengan adanya kegiatan ini guru-guru semakin termotivasi untuk memberikan pembelajaran terbaik untuk anak didiknya. Pun saya juga telah terinspirasi. Insya Allah saya juga akan membuat kegiatan serupa ke depan. Meskipun tenggang waktunya masih belum pasti kapan.”Ujar Iwan W Muharram, lelaki kelahiran 47 tahun lalu. Kepala Sekolah SDN Tegal Jaya 02 yang baru menjabat 1 tahun.

Gerakan peduli pendidikan ini juga disambut baik oleh sekolah yang diundang. Seorang guru perempuan yang memegang kendali sebagai wali kelas 4 di MI Nurul Islamiyah. Ia merasa beruntung meluangkan waktunya untuk datang dan menyaksikan secara langsung penggunaan alat peraga.

“Bagus banget kegiatannya. Saya jadi termotivasi memanfaatkan alat peraga menggunakan barang bekas. Walapun sekolah belum mendukung. Tapi, insya Allah saya akan usahakan itu.” Ungkap Dedeh  Supriyati (35), ibu dua anak yang sudah tinggal 12 tahun di Bogor. (Suni Ahwa)         

Minggu, 06 Desember 2015

SGI Gerakkan Sekolah Literasi Indonesia


Guru sebagai pengajar, perkara biasa.
Guru sebagai agen pembelajar, itu baru luar biasa.
(Asep Sapa’at) 
Ritme pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun belum mengalami perubahan yang signifikan. Apalagi di daerah-daerah yang berada di kawasan 3T; Terpencil, Terpelosok dan Tertinggal. Puncaknya ketika sebuah kebijakan yang dibuat oleh menteri pendidikan Muhammad Nuh tentang kurikulum 2013 dikeluarkan. Sisi positif yang dapat dipetik adalah karena tiap butir kurikulumnya melahirkan siswa-siswa yang berkarakter.
Hingga kini, kurikulum 2013 masih menjadi bahan obrolan hangat di setiap sekolah. Beberapa memang menerapkan kurikulum ini. Kualifikasi dan standarisasi tak dapat dielakkan. Jika memang sekolah itu memenuhi standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Maka sekolah tersebut akan menjadi sekolah model. Lalu apakah siswa-siswanya berkarakter? Wallahualam.
Perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013 dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sekolah Menengah Atas saja melainkan pada pendidikan Sekolah Dasar juga. Kendati demikian, hal klasik yang masih belum terpenuhi oleh guru-guru di Indonesia. Adalah memberikan perhatian lebih dalam menilai anak didiknya. Dalam hal belajar ataupun bersikap. Sehingga tugas guru tidak hanya mengajar di kelas. Namun juga menjadikan anak didiknya berkarakter seperti yang diharapkan pada kurikulum 2013.
Ketidakmerataan penggunaan kurikulum di Indonesia yang masih timpang. Membuat Sekolah Guru Indonesia prihatin. Keprihatinan itu kemudian menginisasi untuk membentuk sebuah Program yang dinamakan sekolah literasi. Dan pada angkatan 16 professional class tahun ini, diharapkan mampu membawa angin segar pada dunia pendidikan di Indonesia. Terutama untuk pendidikan Sekolah Dasar. Alasan mengapa mengambil pendidikan Sekolah Dasar. Adalah karena akar pendidikan karakter yang baik ditanamkan dari dini. Dan literasi adalah cara yang diyakini dapat memberikan dampak positif dalam pembentukan karakter anak-anak.  Seperti kata Umar Bin Khatab “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut menjadi pemberani.”
Sekolah Guru Indonesia akan membawa perubahan nyata pada dunia pendidikan. Menyebarkan guru-guru transformatif ke daerah-daerah se-Nusantara. Untuk menjadi seorang pendamping. Tugasnya adalah mengubah paradigma dan menyebarkan virus bahwa seorang guru yang baik adalah dapat memecahkan masalah. Dan memberikan solusi dari berbagai masalah yang muncul di sekolah. Bukan malah menambah masalah.
 “Guru-guru yang dibentuk di Sekolah Guru Indonesia tidak hanya sekedar guru. Bukan pula sekedar seorang pemimpin tetapi dia adalah seorang dokter pendidikan. Yang dapat memberikan solusi dalam memecahkan persoalan di bidang pendidikan.” Tegas Zayd Saefullah suatu sore di dalam ruang kelas ketika mentoring.
Dunia literasi memang bukan hal baru di Indonesia. Terutama untuk komunitas yang hingga kini masih aktif menyebarkan virus literasi. Padahal sudah belasan tahun. Adalah Rumah Dunia. Sebuah pusat belajar anak muda Banten yang tidak hanya mencetak penulis dan wartawan setiap angkatannya. Namun juga segudang kegiatan yang bersinggungan dengan dunia literasi.
Jika Rumah Dunia mencetak orang-orang yang kompeten dalam ranah tulis menulis. Lain halnya dengan Sekolah Guru Indonesia. Di Sekolah Guru Indonesia menetaskan guru-guru yang transformatif. Yang tidak hanya dibekali kemampuan mengajar mumpuni. Tetapi juga menjadi agen pembelajar. Yang mau belajar apapun. Dan memposisikan dirinya dimanapun berada.  
Budaya literasi tidak hanya sebatas membaca dan menulis. Namun juga kecakapan dalam hal berhitung. Dan gerakan Sekolah Guru Indonesia seolah menyempurnakan dunia literasi yang dibutuhkan oleh sekolah. Bahwa di dalam literasi sekolah tedapat Sistem Instruksional dan Budaya Sekolah.

Antara Sistem instruksional dan Budaya Sekolah masing-masing memiliki hubungan yang kuat. Kepemimpinan pembelajaran, efektivitas pembelajaran, dan kecakapan literasi dan matematika adalah sistem instruksional yang jika dijalankan dengan baik maka menghasilkan kepemimpinan sekolah, lingkungan belajar dan pembentukan karakter yang  baik pula. *