Minggu, 13 Desember 2015

SGI 16 Gelar Demo Alat Peraga


           BOGOR - Mahasiswa SGI prosfessional class angkatan 16 membuat gerakan peduli pendidikan. Gerakan ini lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya masalah pada beberapa guru yang tidak menggunakan alat peraga ketika mengajar. Permasalahan yang muncul ini juga tidak jauh berbeda dengan sekolah yang pernah dijadikan tempat magang beberapa pekan lalu oleh mahasiswa SGI. Hal inilah, yang kemudian membuat para mahasiswa SGI 16 berinisiatif untuk membuat expo pendidikan. Dengan cara mendemonstrasikan alat peraga dari bahan-bahan tidak terpakai lalu menyulapnya menjadi berdaya guna.
          
       “Penggunaan alat peraga sebagai pendukung pembelajaran sangatlah penting. Dan kegiatan expo alat peraga ini juga diharapkan dapat menggugah inspirasi para guru nantinya. Agar lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan alat peraga untuk mengajar. Sehingga metode ceramah tidak melulu diterapkan. Ini juga dapat membantu anak muridnya dalam memahami pelajaran.” Papar Shalipp Sanri Geolfano (22), ketua kegiatan expo pendidikan yang berasal dari Muna, Sulawesi Tenggara, Sabtu, (12/15) .

Kegiatan yang disuguhkan tidak hanya melibatkan para guru. Di sini, anak-anak murid SDN Tegal Jaya 02 juga ikut terlibat. Sebuah perlombaan juga dibuat untuk memeriahkan acara expo ini. Lomba menggambar yang diikuti oleh peserta kelas 1 sampai 3.

Kegiatan ini didukung penuh oleh Kepala Sekolah dan guru-guru terkait. Salah satunya adalah Iwan W Muharam kepala sekolah SDN Tegal Jaya 02 Bogor yang dipilih oleh SGI 16 sebagai tempat pelaksanaan kegiatan. Ia merasa bersyukur  karena SGI 16 mengadakan kegiatan Expo pendidikan di sekolahnya.

“Semoga dengan adanya kegiatan ini guru-guru semakin termotivasi untuk memberikan pembelajaran terbaik untuk anak didiknya. Pun saya juga telah terinspirasi. Insya Allah saya juga akan membuat kegiatan serupa ke depan. Meskipun tenggang waktunya masih belum pasti kapan.”Ujar Iwan W Muharram, lelaki kelahiran 47 tahun lalu. Kepala Sekolah SDN Tegal Jaya 02 yang baru menjabat 1 tahun.

Gerakan peduli pendidikan ini juga disambut baik oleh sekolah yang diundang. Seorang guru perempuan yang memegang kendali sebagai wali kelas 4 di MI Nurul Islamiyah. Ia merasa beruntung meluangkan waktunya untuk datang dan menyaksikan secara langsung penggunaan alat peraga.

“Bagus banget kegiatannya. Saya jadi termotivasi memanfaatkan alat peraga menggunakan barang bekas. Walapun sekolah belum mendukung. Tapi, insya Allah saya akan usahakan itu.” Ungkap Dedeh  Supriyati (35), ibu dua anak yang sudah tinggal 12 tahun di Bogor. (Suni Ahwa)         

Minggu, 06 Desember 2015

SGI Gerakkan Sekolah Literasi Indonesia


Guru sebagai pengajar, perkara biasa.
Guru sebagai agen pembelajar, itu baru luar biasa.
(Asep Sapa’at) 
Ritme pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun belum mengalami perubahan yang signifikan. Apalagi di daerah-daerah yang berada di kawasan 3T; Terpencil, Terpelosok dan Tertinggal. Puncaknya ketika sebuah kebijakan yang dibuat oleh menteri pendidikan Muhammad Nuh tentang kurikulum 2013 dikeluarkan. Sisi positif yang dapat dipetik adalah karena tiap butir kurikulumnya melahirkan siswa-siswa yang berkarakter.
Hingga kini, kurikulum 2013 masih menjadi bahan obrolan hangat di setiap sekolah. Beberapa memang menerapkan kurikulum ini. Kualifikasi dan standarisasi tak dapat dielakkan. Jika memang sekolah itu memenuhi standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Maka sekolah tersebut akan menjadi sekolah model. Lalu apakah siswa-siswanya berkarakter? Wallahualam.
Perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013 dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sekolah Menengah Atas saja melainkan pada pendidikan Sekolah Dasar juga. Kendati demikian, hal klasik yang masih belum terpenuhi oleh guru-guru di Indonesia. Adalah memberikan perhatian lebih dalam menilai anak didiknya. Dalam hal belajar ataupun bersikap. Sehingga tugas guru tidak hanya mengajar di kelas. Namun juga menjadikan anak didiknya berkarakter seperti yang diharapkan pada kurikulum 2013.
Ketidakmerataan penggunaan kurikulum di Indonesia yang masih timpang. Membuat Sekolah Guru Indonesia prihatin. Keprihatinan itu kemudian menginisasi untuk membentuk sebuah Program yang dinamakan sekolah literasi. Dan pada angkatan 16 professional class tahun ini, diharapkan mampu membawa angin segar pada dunia pendidikan di Indonesia. Terutama untuk pendidikan Sekolah Dasar. Alasan mengapa mengambil pendidikan Sekolah Dasar. Adalah karena akar pendidikan karakter yang baik ditanamkan dari dini. Dan literasi adalah cara yang diyakini dapat memberikan dampak positif dalam pembentukan karakter anak-anak.  Seperti kata Umar Bin Khatab “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut menjadi pemberani.”
Sekolah Guru Indonesia akan membawa perubahan nyata pada dunia pendidikan. Menyebarkan guru-guru transformatif ke daerah-daerah se-Nusantara. Untuk menjadi seorang pendamping. Tugasnya adalah mengubah paradigma dan menyebarkan virus bahwa seorang guru yang baik adalah dapat memecahkan masalah. Dan memberikan solusi dari berbagai masalah yang muncul di sekolah. Bukan malah menambah masalah.
 “Guru-guru yang dibentuk di Sekolah Guru Indonesia tidak hanya sekedar guru. Bukan pula sekedar seorang pemimpin tetapi dia adalah seorang dokter pendidikan. Yang dapat memberikan solusi dalam memecahkan persoalan di bidang pendidikan.” Tegas Zayd Saefullah suatu sore di dalam ruang kelas ketika mentoring.
Dunia literasi memang bukan hal baru di Indonesia. Terutama untuk komunitas yang hingga kini masih aktif menyebarkan virus literasi. Padahal sudah belasan tahun. Adalah Rumah Dunia. Sebuah pusat belajar anak muda Banten yang tidak hanya mencetak penulis dan wartawan setiap angkatannya. Namun juga segudang kegiatan yang bersinggungan dengan dunia literasi.
Jika Rumah Dunia mencetak orang-orang yang kompeten dalam ranah tulis menulis. Lain halnya dengan Sekolah Guru Indonesia. Di Sekolah Guru Indonesia menetaskan guru-guru yang transformatif. Yang tidak hanya dibekali kemampuan mengajar mumpuni. Tetapi juga menjadi agen pembelajar. Yang mau belajar apapun. Dan memposisikan dirinya dimanapun berada.  
Budaya literasi tidak hanya sebatas membaca dan menulis. Namun juga kecakapan dalam hal berhitung. Dan gerakan Sekolah Guru Indonesia seolah menyempurnakan dunia literasi yang dibutuhkan oleh sekolah. Bahwa di dalam literasi sekolah tedapat Sistem Instruksional dan Budaya Sekolah.

Antara Sistem instruksional dan Budaya Sekolah masing-masing memiliki hubungan yang kuat. Kepemimpinan pembelajaran, efektivitas pembelajaran, dan kecakapan literasi dan matematika adalah sistem instruksional yang jika dijalankan dengan baik maka menghasilkan kepemimpinan sekolah, lingkungan belajar dan pembentukan karakter yang  baik pula. *

Sabtu, 28 November 2015

Keluarga Baru di SGI 16


            Terkejut, terharu, dan bahagia. Semuanya campur aduk jadi satu malam itu. Menjadi sebuah kebahagiaan tak terkira dan takkan pernah kulupa.

Kita tak pernah bertemu sebelumnya dan tak pernah bersama tetapi aku merasa diistimewakan. Meskipun harus basah kuyup diguyur air dua ember besar dan ditimpa air hujan. Tetapi senyum yang mengembang di sudut bibirku ini menandakan kalau kalian memang layak menjadi keluarga baruku hingga ajal memisahkan kita.

            Kedekatan kita memang belum lama. Bahkan dapat dihitung dengan jari. Tetapi, ikatan tali persaudaraan yang teman-teman Sekolah Guru Indonesia berikan padaku malam itu melebihi kebersamaan kita selama 4 hari.

            Kita dipertemukan di sini bukan karena tanpa alasan. Semua sudah direncanakan oleh sang maha pemberi jalan. Ya, Allah SWT telah merancang pertemuan kita di Sekolah Guru Indonesia. Dan kita yang lolos seleksi dari 250-an pendaftar adalah orang-orang terpilih untuk menjadi pahlawan. Pahlawan pendidikan. 

Satu pintu untuk menjadi pahlawan pendidikan memang telah terbuka lebar. Namun, satu hal yang harus diluruskan. Adalah paradigma kita dalam memandang tugas seorang guru. Yang hingga detik ini aku merasakan adanya perbedaan dengan pendidikan kekinian. Tumpang tindih.

Persoalan menjadi guru terkadang berkecamuk di dalam dada. Tanggung jawab menjadi seorang guru amatlah besar. Dan menjadi guru yang seperti apa nanti, ya tergantung diri kita.

Menjadi guru yang nyasar? Atau menjadi guru bayar? Atau menjadi guru sadar. Semua tergantung pada diri kita sendiri. Aku merasa beruntung berada diantara orang-orang  yang sadar akan dunia pendidikan. Untuk menempatkan guru pada proporsinya. Begitupun teman-teman yang lain. Meskipun kita berbenturan dengan karakter, kemampuan, bahasa dan adat istiadat yang ada. Namun, kita berusaha untuk melebur jadi satu. Untuk sama-sama mengubah pendidikan yang masih banyak cacat di sana sini. Hingga hal yang paling penting dari tubuh pendidikan, yakni strukturnya.


 Kita yang sama-sama memiliki tujuan dan mempunyai mimpi yang sama. Sama-sama ingin memperbaiki pendidikan di Indonesia. Mencerdaskan anak-anak bangsa adalah satu tugas penting dari banyak tugas lainnya yang sedang menanti kita di penempatan. Seperti jargon yang melekat pada tubuh Sekolah Guru Indonesia. Bahwa kita mestilah Bangga menjadi guru,  karena kita Guru berkarakter yang ingin menggenggam Indonesia. Untuk perubahan pendidikan yang lebih baik. Semoga.
*

Senin, 23 November 2015

Peran Guru SGI Pada Dunia Pendidikan


Takkan pernah menyerah
Kami guru Indonesia
Selalu tulus mengabdi
Kami guru Indonesia
Mengajar dengan hati
Mendidik sepenuh jiwa
Kamilah guru Indonesia

“Siapapun bisa menjadi guru,” ujar Bambang Suherman salah satu pembicara sekaligus Direktur Komunikasi dan Fundrising di Studium Generale yang mengangkat tema Optimalisasi Kepemimpinan Guru dalam Masyarakat, Senin. Penekanan pada kata kepemimpinan menjadi poin plus yang harus dimiliki oleh para peserta SGI Professional Class angkatan 16 tahun ini.

Pernyataan bahwa siapapun bisa menjadi guru telah dibuktikan oleh para peserta Sekolah Guru Indonesia. Sebanyak 20 peserta dari seluruh Indonesia, beberapa dari mereka memang bukan dari pendidikan. Salah satunya adalah Arby’in Pratiwi. Perempuan muda yang lulus dari Universitas Jenderal Sudirman dan mengambil jurusan Peternakan datang dari Purworejo, Jawa Tengah. Ia mengaku keikutsertaannya dalam program yang dibuat oleh Dompet Dhuafa adalah karena ia mencintai profesi sebagai guru.  

Menjadi seorang guru tidak akan terlepas dari kompetensi. Kompetensi seorang guru mencakup banyak hal. Standar kompetensi yang sudah termaktub dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 menyebutkan bahwa ada 4 kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru. Diantaranya adalah pedagogik dan kompetensi kepribadian, professional dan kompetensi sosial. Dari berbagai kompetensi yang disebutkan maka akan terwujud penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru.

Keterampilan mengajar yang baik. Akan menghasilkan anak-anak didik yang baik pula. Dan mengaplikasikan tiap butir kompetensi sedini mungkin dapat meminimalisir kecacatan pendidikan di Indonesia. Terutama bagi guru-guru sekolah dasar. Yang belum banyak mengetahui betapa pentingnya kompetensi seorang guru. Di sinilah peran para guru di Sekolah Guru Indonesia pada program professional class. Selama 3 bulan akan digodok agar kompetensi guru yang diharapkan benar-benar matang. Sebelum akhirnya ditempatkan selama 1 tahun untuk pengabdian.

Pengabdian mahasiswa Profesional Class tahun ini memang cukup berbeda dengan angkatan yang lalu. Tolak ukur seorang guru tidak hanya meliputi kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Yang digugu dan ditiru oleh siswa-siswanya. Yang ruang lingkupnya sebatas sekolah. Melainkan melebur dengan masyarakat. Seperti pada butir kompetensi umum yang isinya bahwa mahasiswa SGI harus memiliki kemampuan untuk membuat perubahan dengan membuat program kreatif pemberdayaan sekolah atau masyarakat.

Seperti yang selalu digaungkan oleh Manager Sekolah Guru Indonesia, Abdul Khalim selepas Apel pagi. Penekanan menjadi seorang pemimpin seperti alarm yang sudah tersimpan dan ketika waktu itu tiba akan berbunyi.

“Kalian tidak hanya bertugas sebagai seorang guru di penempatan nanti. Tetapi, menjadi seorang pemimpin.” Tegas Abdul Khalim sembari memasang wajah serius. Lalu beberapa detik kemudian ia mencairkan suasana dengan melukis sebuah senyuman.

Selain ingin menonjolkan sosok pemimpin. Pada angkatan Professional class juga menerapkan agar seorang guru mampu menuangkan segala idenya dalam bentuk tulisan. Ini merupakan kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh mahasiswa calon guru-guru masa depan.*


Sekantong Sampah untuk Sebungkus Roti


            Minggu (23/11), projek sosial yang digagas oleh mahasiswa SGI Professional Class sekitar pukul 06.00 WIB pagi itu berjalan lancar.  Pada projek sosial ini, mahasiswa SGI Profesional Class melibatkan anak SMART Ekselensia. Tidak semua anak dilibatkan di sini. Hal ini dikarenakan di dalam Lembaga Pengembangan Insani terdapat dua sekolah. Maka dipilihlah siswa SMP mulai dari kelas 1, 2 dan 3.

Gerakan peduli sampah. Begitu bunyi  tagline pada spanduk yang terbuat dari kertas karton yang di gambar dan di warnai dengan krayon. Penggagasnya adalah Rokhani, perempuan asal Sumbawa, NTB. Ia merasa bahwa kedekatan antaranya dan siswa-siswa SMP dan SMA Ekselensia  selama dua pekan ini masih seperti orang asing. Padahal mereka sudah tinggal seatap dengan yayasan yang sama.

Keinginan yang serupa pun dialami para peserta lainnya. Pergolakan batin itu pun menemukan titik temu saat obrolan antara peserta laki-laki dan siswa SMART di pantry terjadi. Maksud dan tujuan tak lupa dipaparkan bertahap. Tidak hanya kepada siswa namun pembina asrama juga punya andil di sini.  

Keinginan untuk menumbuhkan rasa keakraban bukan hanya antara mahasiswa SGI. Melainkan antara senior dan junior dapat mempererat hubungan sosial yang lebih baik. Menurut Rokhani, masa pengabdian dimulai dari titik terdekat. Dan anak-anak SMP SMART adalah objek paling dekat. Mereka juga masyarakat.

Sebanyak 70 anak-anak berkumpul di depan masjid. Jalinan keakraban antara mahasiswa dan siswa-siswa lain tampak begitu berbeda ketika mereka dikumpulkan dan saling memperkenalkan diri masing-masing. Canda tawa memberikan energi positif bagi keduanya. Agar siang tak cepat beranjak maka gerakan peduli sampah pun segera dilaksanakan.

“Senang banget kak. Aku jadi kenal dengan kakak kelas.” Seru Dimas (12) yang malu-malu menjawab pertanyaan dari mahasiswa SGI sehabis isya di tangga paviliun 4. Lalu sebuah harapan menguat bahwa akan ada efek besar pada diri Dimas dan anak-anak lainnya. Akan sebuah kesadaran betapa pentingnya menjaga lingkungan. Penukaran sekantung sampah dengan sebungkus roti hanya untuk menyemangati keras mereka dalam mengumpulkan sampah.*


Senin, 16 November 2015

Mimpiku di Mulai dari Sekolah Guru Indonesia


Pagi yang puitik oleh tangis
Sepertinya menangis adalah caraku untuk membuat hati tenang. Mungkin menurut sebagian orang terlalu banyak menangis dibilang cengeng. Tetapi, bagiku menangis berarti menumpahkan segala kegundahan yang menyesakkan. Dan akan merasa baikan bila tangis itu pecah.
Seperti semalam itu airmataku terus saja mengalir deras bila membayangkan peristiwa pagi tadi. Puncak keharuan yang tak berujung itu begitu kentara sepulang dari Rumah Dunia. Dan tak kunjung berakhir saat bus melaju membawaku menjauh dari emak yang berdiri kokoh di bahu jalan.
Sebenarnya aku sudah menahan bendungan airmata ini dari jauh-jauh hari. Agar tidak terlalu mengharu biru. Tetapi, kenyataan tetaplah kenyataan aku yang terlalu mudah tersentuh dan perasa pada akhirnya menangis juga. Maafkan aku.

Musim Hujan
Hujan lebat disertai petir menyambut kedatanganku di Bogor. Bus mini Pusaka yang kutumpangi masih terlihat lengang. Hanya ada dua penumpang. Tetapi setelah setengah perjalanan penumpang mulai berjejejan.
Tarif mini bus dari Terminal Baranangsiang ke Jampang sangat variatif. Yang membedakan adalah jarak tempuhnya. Seperti aku misalnya, tarif yang dikenai untuk perjalanan dari terminal adalah sepuluh ribu rupiah.
Hujan sore itu kian menjadi-jadi. Seperti juga supir bus yang kian menambah kecepatan lajunya setelah bangku-bangku kosong terisi penuh. Derasnya air hujan yang menimpa atas bus tak dapat tertampung. Air hujan masuk di sana sini. Aku sampai kewalahan memindahkan koper dari kanan ke kiri.  
Ada perasaan tak karuan yang menghinggapi hatiku. Sebuah pertanyaan pun terlintas dalam benakku. Akan berhentinya hujan. Yang tak jua memberikan tanda mereda bagaimana bisa aku turun dari mini bus ini.
Perjalanan ke Dompet Dhuafa memakan waktu kurang lebih setengah jam. Aku merengkuh perutku. Kuusap pelan-pelan. Gorengan yang mengganjal perutku rupanya tak membuat kenyang. Seketika menu makan siang masakan emak membayang di pelupuk mata.
“Aih kenapa di saat seperti ini aku lemah.” Gerutuku dalam hati.
Ah, sepertinya aku harus terbiasa dengan hujan. Karena, Bogor adalah kota hujan.

Asrama SGI
Aku tertatih-tatih membawa koper dari depan bangunan hingga masuk ke dalam. Ketika sampai di bibir masjid aku berhenti. Sebuah gedung berlantai dua berdiri kokoh dari kejauhan.
Aku lirik koper di lantai. Aku terhenyak dalam beberapa detik. Lalu seorang anak laki-laki yang baru selesai shalat menyapaku. Tanpa basa basi, dia menawarkan dirinya untuk menolongku. Sontak aku mengiyakan. Pada situasi seperti ini, rasanya menerima bantuan begitu kuharapkan.
“Terima kasih dek,”
“Iya, kak.”
Aku tiba di depan paviliun 1 lantai 1. Pintu sudah terbuka lebar, itu berarti sudah ada yang mengisi kamar. Samar-samar aku mendengar suara-suara yang keluar dari kamar 3. Seorang perempuan yang pernah kukenal dan bertemu di Atmajaya keluar. Rupanya dia diantar kedua orang tuanya. Aku menyapa mereka. Ya, dalam tiga bulan ke depan aku dan 10 perempuan di paviliun ini akan berkumpul dan belajar bersama*





Jumat, 23 Oktober 2015

Bogor dan Sebuah Harapan


Candu Bertualang
         Aku melepas kepergian pagi itu, Senin (19/10) dengan wajah berseri. Semangat yang menggebu nyatanya mampu meyakinkan emak merestui kepergianku ke Bogor.  Aku tak ingin membuat emak mengkhawatirkanku. Terlebih perjalanan kali ini aku menempuhnya seorang diri.

            “Meskipun kamu berbeda dari kebanyakan anak perempuan di luar sana. Tapi, ingatlah bahwa perempuan tetap perempuan.” Katanya sambil menjabat tanganku erat. Dalam beberapa detik hatiku terenyuh.  Dan hampir saja airmataku berhamburan. Namun, segera kutahan.

“Doakan uni ya, mak. Selamat sampai tujuan dan dimudahkan segala urusannya.” Pintaku. Emak mengangguk sambil mengelus punggung tanganku lembut. Hatiku semakin kebat kebit saat melepaskan pegangan tangan emak dan menjauh darinya beberapa meter. Kedua kakiku berkata lain. Aku pun berlari kecil menghampiri emak. Dan kulayangkan kecupan pada kedua pipinya.

Emak menghentikan memasak di dapur. Dan mengantarku keluar rumah.

“Sudah pamit sama Bapak?” Tanyanya di depan pintu.

“Bapak masih tidur.” Kataku sekenanya.

“Nggak apa-apa bangunin aja,”

Ya, emak selalu mengingatkanku untuk tidak melewatkan hal yang satu ini. Meminta restu pada bapak juga kakak keduaku. Baiklah, tibalah waktunya untuk aku berangkat. Kulihat jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Deru knalpot pun sudah memanggil-manggilku. Itu pertanda aku harus bergegas keluar dari rumah. Karena adikku sudah menungguku di luar.

“Berangkat dulu ya, mak. Assalamualaikum.”

“Hati-hati. Waalaikumsalam.”

Gang rumahku masih tampak lengang. Belum ada tanda-tanda anak sekolah dasar melintas. Biasanya mereka akan mewarnai jalanan kecil ini. Kedua tangannya menggenggam erat seplastik gorengan dan uduk atau dua mangkuk bubur ayam yang dibelinya untuk mengganjal perutnya yang kosong. Ketika sampai di perbatasan gang. Adikku semakin melajukan motornya kencang.

Ini bukan kali pertama aku melakukan perjalanan menggunakan kereta api ekonomi patas Merak. Justru karena banyak pertimbanganlah akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan alat transportasi umum ini lagi. Selain dapat menekan pengeluaran. Juga dapat mencairkan   kerinduan yang telah mengkristal dalam darahku. Berpetualang. Ya, semenjak skripsi selesai waktuku terenggut oleh segudang kegiatan mengajar.

Aku tiba di pintu gerbang stasiun tepat pukul 06.30 WIB. Dari pintu gerbang stasiun entah mengapa aku merasakan udara kebebasan. Darahku bergejolak saat wajahku diterpa angin yang melintas bersamaan dengan kedatangan ular besi di depan mataku. Aku hirup udara kebebasan itu sebanyak-banyaknya.

HUPP.

Aku memegang gagang besi pintu masuk gerbong.

“Akhirnya, setelah berjibaku dengan segudang aktivitas mengajar aku bisa menikmati bertualang kembali.” Selorohku dalam hati.

Teman Baru dalam Gerbong
Ketahuilah bahwa ketika kedua kaki ini melangkah menjauh dari rumah dengan tujuan yang baik, Insya Allah Tuhan akan membuka pintu-pintu lainnya untuk memudahkan perjalanan itu. Seperti perkenalan yang tanpa disengaja hari itu di dalam gerbong kereta.

Aku bersyukur bisa duduk sejajar diantara para perempuan. Bukan tidak mungkin sebenarnya, aku duduk berbaur dengan laki-laki. Namanya juga alat transportasi umum. Mana bisa kita memilih duduk dengan seseorang sesuka hati.

 Aku menyapa mereka dengan mengayunkan kepala sembari tersenyum simpul. Seorang bapak yang menyuruhku duduk di seberang pun tak luput dari sapaanku. Bapak itu kutaksir usianya 60 tahunan kembali kekesibukannya. Begitu pula dengan aku.

Aku belum ingin bertanya banyak pada seseorang di samping atau di seberangku. Aku sedang ingin menghabiskan beberapa menit merekam keindahan alam di luar jendela gerbong. Tiba-tiba telingaku mendengar seseorang menyebut Bogor. Seketika telingaku berpaling pada sumber suara. Pada seorang perempuan muda di pinggir jendela yang mengaku tengah kuliah di  di Pakuan.

Aku simak baik-baik setiap perbicangan itu. Sambil menahan rasa ingin tahu yang mulai menggunung di kepala. Alhamdulillah aku mendapatkan teman sebangku yang juga akan melakukan perjalanan serupa. Itu artinya aku tidak akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Selang beberapa menit kemudian, ketika suasana hening disaat itulah kugunakan membangun percakapan dengan perempuan di pinggir jendela gerbong. Kuutarakan beberapa pertanyaan yang mendesak-desak sedari tadi di kepalaku.

Bogor dan TBM Warabal
Akhirnya kami tiba di stasiun Bogor. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam akhirnya aku menginjakkan kaki di tanah perjuangan seorang pahlwan dari Pandeglang. Ia adalah Kapten Tubagus Muslihat yang mendedikasikan dirinya sebagai tentara PETA.

Kami berpisah di bawah jalan layang stasiun. Agnes akan melanjutkan perjalanan ke kampusnya. Yang ternyata angkutan kota (angkot) kami beda nomor.  

Terik matahari kian terasa saat aku keluar dari pintu gerbang stasiun.

Panas.

Kata itulah yang meluncur cepat dari bibirku. Bayanganku tertumbuk pada satu tempat yang mengundang tanya. Bukankah seharusnya sejuk karena di Bogor terdapat tempat yang mampu meredam hawa panas. Puncak. Ah, sudahlah.

Malam ini aku akan menginap di TBM Warabal. Pemiliknya adalah seorang perempuan hebat yang mendedikasikan dirinya pada dunia literasi. Aku memanggilnya dengan Bude Kis.

Bukan tanpa alasan mengapa aku menginap di TBM Warabal. Selain jarak tempuh ke Dompet Dhuafa lebih dekat juga aku ingin berbagi sedikit ilmu teater pada anak-anak di sana. Mungkin pelatihan teater dalam semalam itu tidak dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak-anak binaan TBM Warabal. Tetapi, aku yakin sekecil apapun ilmu yang dibagikan pastilah bermanfaat. Insya Allah.

Dompet Dhuafa
            Bismillah. Aku berdoa lirih dalam hati.
          
         Aku melangkahkan kaki ke pintu masuk gerbang yang merupa seperti sekolah. Benar saja dari ujung gerbang masuk, mataku langsung menangkap beberapa siswa yang keluar masuk ruang kelas. Mereka mengenakan pakaian yang seragam.

“Mereka siswa SMART yang diperuntukan untuk SMP hingga SMA. Mereka datang dari segala penjuru kota di Indonesia. Mereka mengikuti kelas akselerasi 5 tahun dalam menempuh pendidikannya.” Papar Imam saat ditanya melalui akun BBMnya padaku.

Bersih dan rapih. Begitulah kesan yang kutangkap dari tempat itu. Sepertinya konsep bangunan hijau benar-benar diterapkan di sana. Berbagai pohon yang di tanam di tiap sudut mampu membuat hati dan jiwaku tenang.
         
         Hiruk pikuk siswa tak ubahnya seperti berada dalam pesantren modern. Hal itu kian kentara saat kedua kakiku tiba di pelataran masjid. Anak murid dan guru-gurunya begitu sibuk. Tiba-tiba aku tertarik dengan satu bangunan di seberang masjid. Bangunan hijau muda yang berdiri kokoh tepat di depan mataku.

“Aku pernah lihat banguan itu di Televisi.” Seruku dalam hati.

Tiba-tiba terlintas harapan besar dalam benakku. Menjadi bagian dari guru-guru yang dibentuk oleh Dompet Dhuafa dengan nama Sekolah Guru Indonesia. Tahun ini telah memasuki angkatan 15. Dan aku benar-benar ingin sekali mendedikasikan diriku untuk keberhasilan anak-anak yang jauh dari pusat kota. Yang minim informasi bahkan pendidikan yang semestinya mereka dapatkan tak ayal terlupakan. Harapan untuk menjadi seseorang yang membanggakan kedua orang tua dan menjadikan anak-anak di pelosok negeri agar berani bermimpi. Menjadi anak-anak yang dapat mengharumkan nama negerinya.

Pulang
Mak aku pulang. Aku tak bisa membelikan berbagai macam buah tangan. Yang sudah menjadi kebiasaan di rumah jika berpegian jauh selalu membawa oleh-oleh. Tetapi, manisan bogor yang terkenal di sana kubelikan setoples. Tidak banyak memang, semoga dapat dimaklumi.

Mak, waktu yang berjalan cepat tak dapat membuatku menikmati perjalanan ini. Jujur, ketika beberapa tempat yang bisa kulihat di televise hanya bisa dinikmati di dalam angkutan kota. Seperti angkot nomor 03 yang membawaku pulang. Angkot itu melintas di depan Istana Negara, Tugu Selamat Datang Bogor dan Kebun Raya aku hanya bisa mengabadikannya lewat foto. Dan aku merasa itu sudah lebih daripada cukup. Meski hanya melihatnya dari kejauhan dan di balik jendela angkutan umum.  

Mak aku pulang, membawa cerita yang mungkin takkan usai meski kuukir menjadi sebuah tulisan. Mak kecupan kemarin pagi masih terasa dibibirku. Mak peluk aku saat pintu rumah terbuka. Entah mengapa sesore ini airmataku luruh. (*)




Selasa, 29 September 2015

Manfaat Berkomunitas


Keputusan yang saya ambil kenapa terjun sebagai tutor teater di sekolah bukan karena tanpa alasan. Selain karena hobi, alasan lainnya adalah karena saya adalah mahasiswa tingkat akhir. Yang butuh suntikan dana lebih. Kebutuhan yang mendesak inilah, yang kemudian membuat saya merambah ke luar dari Rumah Dunia.

Berawal dari pelatihan teater yang diselenggarakan oleh SMAN 2 Kota Serang beberapa bulan lalu. Yang pada saat itu saya dengar, mereka kesulitan mencari narasumber sebagai pemateri. Lalu, dari informasi yang saya peroleh, akhirnya nama Rumah Dunia menggaung.

Sepanjang pelatihan itu, saya berusaha semaksimal mungkin memberikan ilmu teaterku pada mereka. Meskipun sempat terpikir akan keilmuanku pada dunia teater yang masih kurang di sana sini. Namun, semenjak tergabung sebagai anggota belajar di Rumah Dunia. Dan mengikuti kegiatan reguler kelas teater secara rutin semasa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama, prasangka jelek yang merasuki pikiranku pun tergantikan oleh rasa percaya diri. Kini rasa percaya diri itupun kian berkembang dan mengalir dalam darahku. 

Bagiku, kegiatan yang sedang digeluti sekarang adalah hasil dari proses keterlibatanku beberapa tahun silam di Rumah Dunia. Rumah Dunia yang berkiblat pada sastra juga nasihat seorang pembesar agama Islam Umar bin Khattab keduanya saling mengikat.

“Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut menjadi pemberani.”
Jika Umar bin Khattab menyerukan secara tulisan agar anak-anak diajarkan sastra. Rumah Dunia menerapkannya dalam nyata. Kekuatan sepenggal kata yang ditorehkan Umar bin Khattab seperti termaktub dalam ragaku. Energi inilah yang mempengaruhi rotasi hidupku.

Saya merasa beruntung pernah menjadi warga belajar di Rumah Dunia. Meskipun ranah pekerjaan yang sedang kugeluti ini jauh dari jangkaun keilmuan di bangku kuliah. Tetapi, kenyataan bahwa keberanian itu datang berkat bergabung dan belajar di komunitas.

Lagi, Rumah Dunia seperti penghubung pintu rikziku. NikmatMu yang manakah kudapat mendustakannya. Setelah pelatihan teater itu, saya diminta menjadi tutor teater di SMAN 2 Kota Serang. Kemudian tawaran mengajar pun mengalir deras bagai air hujan dari berbagai sekolah dan mengajar private.

“Pandai-pandailah bersyukur.” Tegurku dalam hati.

Tak ayal rasa syukur yang kutunaikan padaNya menjadi sebentuk doa. Yang senantiasa meluncur di tiap Dhuha dan Tahajud-ku. Saya yakin, ketika nikmat yang datang silih berganti itu kusyukuri Allah akan semakin menambah nikmat lainnya padaku. Seperti dalam surat Ibrahim ayat 7: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kamu akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Semoga saya tergolong ke dalam orang-orang yang senantiasa bersyukur pada Sang Maha Pemberi nikmat. Amin Ya Rabb.

Kamis, 10 September 2015

Belajar Memaknai Hidup dari Emak dan Bapak


Yaaah, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku, 
dan sedih karena kita sering berpisah 
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita 
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih? 
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan
(Ws. Rendra-Pamplet Cinta)

Aku tak pernah menuntut apapun dari siapapun. Bahkan kepada kedua orang tuaku sekalipun. Bagiku, menuntut berarti meminta. Dan setiap permintaan adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi. Dan menyekolahkan anak hingga ke jenjang yang tinggi merupakan salah satu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.

Gelar bapakku memang bukan berpangkat jenderal. Dan emak bukan ibu Negara yang baik pula pendidikannya.

“Bapak hanya tamatan SR, Nong. Tapi, bapak pernah mengajar di Sekolah Agama.” Kata bapak suatu hari padaku. Aku tersenyum simpul bila mengingat cerita itu. Pertanda bahwa aku pun turut bangga kepadanya. Meskipun dahulu SR (Sekolah Rakyat) adalah sekolah setara SD. Namun, kemampuan yang dimiliki bapak hingga bisa menjadi seorang pendidik patut kuapresiasi. Paling tidak, semangat mengajar yang sedang kujalani ini juga pernah dilalui oleh bapakku.

Lain halnya dengan emak. Emak memang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sama sekali. Jika bapak bisa sampai sekolah setingkat SD tapi  tidak untuk emak.

Suatu hari emak bercerita padaku. Dia mengaku tak pernah menyesal jika kedua orang tuanya tak sempat menyekolahkannya. Sehingga, haknya sebagai seorang anak pun tak terpenuhi. Tak ada yang perlu disesali, sekalipun kedua orang tuanya telah meninggal lebih dulu. Dan emak dibesarkan oleh neneknya. Baginya, pelajaran tidak melulu diperoleh dari sekolah. Tetapi, sesungguhnya pelajaran itu bertebaran dimana-mana. Dan menjalani lika liku hidup merupakan bagian dari proses dimana dia memperoleh pelajaran  itu.

Memaknai hidup memang tak semudah yang kubayangkan. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah dua hal yang tak pernah dihadapi oleh siapapun. Tetapi, ketika kumendengar perjuangan kedua orang tuaku tempo dulu. Aku pun belajar memaknai kehidupan itu dari sudut pandang yang berbeda. Apalagi ungkapan emak yang menyentil tentang seorang manusia.

Jadi wong urip kuen lake enake. Uwis jadi wong sugih masih kurang, ape maning sing masih miskin.” Ungkap emak.

Ya, kebahagiaan seseorang di dunia yang dapat menjaminnya adalah manusia itu sendiri. Belum tentu mereka yang hidup berkecukupan akan berlimpah kebahagiaan. Pun sebaliknya.

Sentilan ini kemudian menyentuh mata hati dan batinku. Akan sebuah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Emak dan bapak memang tidak memberikan harta berlimpah padaku. Kucuran kebahagiaan yang mereka bagikan pada anak-anaknya terkadang tak sebanding dengan kehidupan mereka dulu. Seperti pada bidang pendidikan, aku menempuh dan memilih untuk meneruskan sekolah adalah caraku membahagiakan mereka. Tak peduli aku terjatuh dan bangun lagi untuk mendapatkan pendidikan itu. Kuyakini mereka mendoakanku. Dan mengharap yang baik-baik padaNya.

Dari emak aku belajar memaknai bahwa ilmu dapat ditempuh dan didapatkan darimana saja. Kepiawaiannya memasak dirasanya adalah hadiah terindah dari kedua orang tuanya kepadanya. Dan keahlian memijat yang diturunkan dari neneknya menjadi penyempurna kemampuan yang dimilikinya. Baginya, itu lebih daripada cukup untuk menebus ketertinggalannya dalam pendidikan.


Dari bapak aku belajar bahwa serendah apapun pendidikan yang ditempuh. Bukan berarti hidup yang nanti akan dijalani terhenti. Roda kehidupan manusia akan berjalan sebagaimana mestinya jika manusia itu mampu mengemudikanya.*

Senin, 31 Agustus 2015

Lelaki dan Perjumpaan


Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu! 
(Doa, Amir Hamzah)

Perjumpaanlah yang akan menyatukan mereka pada satu titik dimana ada cinta diantara mereka. Yang tengah bersemi dan dipupuk oleh doa. Ia masih menunggu perjumpaan manis itu. Perjumpaan dengan lelaki idamannya. Yang sampai detik ini masih tak dijumpai dalam nyata. Kini, perjumpaan dengan lelaki itu hanya tinggal angan. Sebab, hati diantara mereka tak lagi dapat dipertahankan. Lelaki itu selalu bilang bahwa hati manusia dapat dibolak-balikan olehNya. Dan lelaki itu telah membuka pemahamannya akan arti ketulusan sebuah cinta.
Mereka memang tak pernah saling mengikat satu sama lain. Tetapi, suatu ketika salah satu dari mereka mengutarakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk taaruf. Perasaan itu lahir seiring berjalannya waktu. Dan itu diyakini bahwa perasaan yang diam-diam lahir dan tumbuh dihati mereka adalah naluriah karena kehendakNya. ‘Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.’ (QS adz-Zaariyat [51]: 49).
“Bulan depan, Abang akan sibuk sekali. Jadi, mungkin tidak bisa menghubungi adek atau sebaliknya. Maaf ya dek.” Lelaki itu menutup percakapannya. Dari seberang sana, kesibukan begitu kentara.  
Sejak saat itu, lelaki itu tak pernah memberinya kabar. Ia menghilang. Seperti pada malam-malam berikutnya, riuh suara di depan kamar tamu tak lagi terdengar. Dan,  perempuan itu masih menanti terleponnya berdering. Dan untuk kesekian kalinya, lelaki itu membuatnya resah dan patah hati.
Tiga bulan telah berlalu, namun si perempuan masih menanti perjumpaan dengan lelakinya. Ia dihantui oleh keresahannya. Akan ketulusan cintanya.
“Bodoh!” Ia merutuk dirinya sendiri. Berharap akan tumbuh kebencian dalam hatinya. Dan tak ada lagi kata cinta yang tulus untuk lelakinya. Sayangnya, itu tak terjadi. Di tengah kegundahan seperti malam itu. Hatinya meradang. Puncaknya adalah di saat kerinduan itu datang. Hatinya bagai dihantam oleh ombak. Di saat itulah ia akan memutar rekaman lelakinya yang tengah melantunkan ayat-ayatNya. Dengan begitu ia mampu meredam segala gejolak kemarahan, kebencian, dan kerinduanya yang berkecamuk dalam hatinya. Ayat-ayat yang dilantukan lelaki itu mampu membuatnya tenang. Ketenangan menjalar hingga nadinya. Hingga tak kuasa ia menitikan airmata.
Kebodohan yang dirasakan membuka penalaranya akan sebuah penafsiran bahwa sesungguhnya rasa cinta seorang manusia tak boleh melebihi pada Tuhannya. Betapa si perempuan menyesal akan ketulusan cinta yang lahir dalam dirinya.  
   Sekalipun penyesalan itu menghantuinya. Tetapi, ia percaya bahwa perkenalan dengan lelaki itu juga adalah kehendakNya. Tak ada perjumpaan dan perpisahan. Cinta yang tumbuh dalam beberapa bulan itu nyatanya mampu memberikan energi positif bagi si perempuan. Salah satunya adalah ingin menjadi perempuan yang sholehah di mataNya. Meski akhirnya cerita cintanya tak berakhir manis. Namun, tak sedikitpun berkeinginan melupakan kenangan manis itu bersama lelakinya. Rekaman mengaji adalah bukti bahwa rasa cintanya masih ada. Dan ia akan memupuknya lewat doa.