Kamis, 12 Maret 2015

Belanda Tulen Berdarah Indo


         Membaca novel Remy Sylado seperti menemukan harta karun kata dalam tumpukan buku-buku sejarah yang dibiarkan usang dan teronggok di dalam kardus. Membaca novel ini pula tak ubahnya belajar bahasa asing. Karena saat membaca novel ini penulis menyisipkan dialog-dialog sederhana dengan berbagai dialek bahasa yang terkesan sengaja. Agar pembaca ikut menyelami alur cerita yang dibangun oleh Remy Sylado.

Novel ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan tebal 557 halaman. Sebagai pembaca, buku setebal itu tidak membuat pembacanya dirundung kebosanan. Apalagi hingga berujung pada suatu pilihan agar tidak melanjutkan bacaanya dan melirik ke bacaan lain.

Cerita mengalir dari seorang perempuan yang mengaku berdarah Indonesia yakni Mata Hari. Seperti pada halaman 9, “Aku Matahari. Aku pelacur tulen. Tapi aku penari sejati. Dan aku Belanda berdarah Indonesia.” Pada pembukaan cerita pembaca seolah digiring untuk mengenal siapa itu Mata Hari. Bagaimana kehidupannya? Dan apakah benar bahwa ia seorang pelacur? Mengapa ia memilih menjadi seorang pelacur? Lalu bagaimana bisa ia mengaku bahwa dirinya tak hanya berdarah Belanda tetapi juga berdarah Indonesia? Kesemua pertanyaan itu akan terjawab setelah kita membacanya.

Gaya bahasa yang digunakan oleh Remy Sylado memang cenderung vulgar dan liar. Namun hal itu tidak sekonyong-konyong merusak rasa atau nilai estetika dari tulisannya. Hal itu dibuktikannya melalui kelahiran novelnya yang dicetak sampai dua kali.  Mungkin itu terletak pada kekuatan kata yang disuguhkan oleh Remy Sylado yang tak biasa. Penggalan-penggalan bahasa baik asing ataupun bahasa Indonesia yang jarang sekali digunakan di kehidupan sehari-hari bagai magic. Sehingga tak dapat dipungkiri pembaca dibuatnya jatuh cinta pada kata-katanya.

Remy Sylado ingin menyampaikan betapa kata yang dibikinya begitu bermakna. Seperti juga Mata Hari yang mendamba setiap kata dibalik bait-bait puisi. Bait-bait puisi romantis di dalam novel ini ditumpahkan Remy Sylado begitu indah. Baik itu hasil kutipan maupun buatanya sendiri. Setiap polemik kehidupan seorang Mata Hari tak terlepas dari puisi. Seperti pada kisah asmaranya dengan Maslov di puncak Candi Borobudur.

“Cintaku Mata Hari, jantung hati sayangAndai ada surya yang lebih terang dari namamuyang lebih ditunggu di musim winteryang lebih lama bersinar di musim somerjangan kasihkan pengharapan dengan katasenan laya gampang diucap pada malam harilantas dibuat ralat pada siang hariDatanglah kau dalam kenyangkumengisi laparku pada kemesraanKita bersatu dengan hati berpintu-pintudalam kesucian cinta yang tak terlafazkan.” (hal 499)

Namaku Mata Hari adalah novel yang berkisah tentang kehidupan di abad ke-19 hingga abad ke-20 Masehi. Margaretha Geertruida adalah nama asli Mata Hari. Ia adalah tokoh utama dalam cerita ini. Diusianya ke-18 tahun ia sudah memilih untuk menikah dengan seorang Opsir berkebangsaan Skot, John Rudolph MacLeod. Pernikahan itulah yang kemudian membawanya pulang ke tanah kelahiran ibunya Antje van der Meulen, Indonesia. Yang pada masa itu dijadikan sebagai Nederlandsch Indie, yang artinya Indianya Belanda atau dieja menurut bahasa melayu “Hindia Belanda” (13). Dan ia merekatkan tiap keping 
kerinduan pada tanah kelahiran Ibunya itu dengan menari.

Tokoh Mata Hari tercipta sebagai seorang perempuan yang memiliki dua kepribadian dan pekerjaan sekaligus. Ia mengakui mengapa menjadi seperti itu karena ulah suaminya. “Aku menjadi begini karena suamiku. Dialah yang mendorong aku berpikir cemar.” (Hal. 10).
Mata Hari bukanlah penari biasa sebab ia merangkap sebagai mata-mata rahasia. Remy Sylado menciptakan tokoh Mata Hari sebagai seorang perempuan yang berintelektual. Dalam hal ini Mata Hari dibekali dalam menguasai 7 bahasa sekaligus. Kemampuan bahasa yang dimilikinya menarik perhatian dua kubu yang sedang bersiteru. Menari dari satu negara ke negara lain dan melakukan diskusi bantal tanpa cinta dengan lelaki dari dua pihak kubu mampu mengharumkan namanya sebagai penari. Tentu diikuti oleh materi yang melimpah ruah begitu mudah didapatkannya.

Perjalanan hidup Mata Hari menjadi penari eksotik begitu yang diinginkan bila seseorang memanggilnya ketimbang menyebutnya penari erotik. Perjalanan Mata Hari menjadi kian dramatik saat ia kemudian dicekal oleh salah satu kubu bahwa ia telah berkhianat. Berkhianat seperti apa yang dilakukan oleh Mata Hari. Bacalah bukunya !(*)


Selasa, 10 Maret 2015

Separuh Usiaku untuk Berliterasi


          Sepagi itu hujan mengguyur Kota Serang. Namun hal itu tak mengubah rencana perjalananku untuk berangkat ke Jakarta. Meski sudah berulang kali menginjakkan kaki ke Senayan, tetapi kali ini, saya baru pertama kali ikut memestakan acara besar yang hanya bisa ditemui sekali dalam setahun yakni Islamic Book Fair 2015.
Kereta api jurusan patas Merak-Jakarta membawaku serta rombongan Rumah Dunia. Tepat pukul 06.55 WIB bunyi peluit panjang mengangkasa ke udara. Menembus pekatnya awan hitam. Meninggalkan stasiun Taman Sari, Serang. Suara derit gerbong dan roda yang menggilas besi semakin memantapkan niatku untuk menghabiskan weekend bersama teman-teman untuk berburu buku dan sekaligus mencari ilmu di Islamic Book Fair 2015. Salah satunya menghadiri bedah buku ‘Pasukan Matahari’ karya Gol A Gong.
Suara riuh pedagang berbagai makanan dan pengamen tak lagi kujumpai di dalam gerbong. Aku hanya mendapati wajah-wajah kegelisahan pada beberapa orang yang lalu lalang di depanku. Sekilas mereka seperti tengah dilanda ketakutan. Itu tampak jelas sekali terlihat dari gelagat mereka yang sesekali melempar pandang ke pintu gerbong.
Peristiwa itu berlangsung cukup lama. Hingga bangku memanjang layaknya di sebuah angkutan kota (angkot) kosong. Dan beberapa penumpang yang duduk diubin gerbong beringsut pindah. Adegan demi adegan di depan mataku tak ayal membuat hatiku ngilu dan iba. Tetapi, peraturan tetap peraturan. Mereka hanya rakyat kecil yang telah terbiasa mencari rupiah pada penumpang kereta api ekonomi.
Segera kusingkirkan perasaan yang menggelayuti hatiku. Memikirkan hal-hal yang pelik selama berada di dalam gerbong kereta membuatku ingin cepat keluar. Meski tawa terkadang pecah. Namun tak dapat kupungkiri bahwa akupun merasakan apa yang mereka tengah rasakan.
Selamat datang di Jakarta. Seruku dalam hati.  
Ya, akhirnya saya tiba di stasiun Pal Merah setelah 3 jam lamanya berada di dalam gerbong kereta.  Rupanya hujan yang mengguyur Serang telah membawa cuaca lain di Jakarta. Sehingga keputusan untuk menempuh Senayan dengan berjalan kaki pun seolah disambut baik oleh alam.
Hiruk pikuk kota Jakarta kian kentara saat kedua kaki saya memasuki gerbang Gelora Bung Karno (GBK). Salah satu kegiatan yang menarik perhatianku adalah sebuah kemunitas sepatu roda. Tua, muda jadi satu. Sepertinya usia bukan lagi batasan bagi mereka untuk menekuni dunia apapun. Sekalipun mereka disejajarkan dengan anak-anak di bawah umur.
Lalu pikiranku melambung jauh pada pilihanku yang tak sampai hati jika harus murtad. Seperti hari ini, meski seharian menempuh perjalanan ke Jakarta menggunakan kereta api guna merayakan pesta buku-buku islam di Senayan. Tak ada kata penyesalan atas tindakan yang kuambil. Seperti juga jalan hidup yang mengarahkanku pada dunia litearsi. Spirit literasi yang telah tertanam sejak usiaku 8 tahun karena bergabung di Rumah Dunia bagai mendarah daging di sumsumku. Mengalir di darahku. Kini, diusiaku yang ke-22 tahun masih saja kunikmati berjibaku dengan dunia literasi.