Candu Bertualang
Aku
melepas kepergian pagi itu, Senin (19/10) dengan wajah berseri. Semangat yang menggebu
nyatanya mampu meyakinkan emak merestui kepergianku ke Bogor. Aku tak ingin membuat emak mengkhawatirkanku. Terlebih
perjalanan kali ini aku menempuhnya seorang diri.
“Meskipun
kamu berbeda dari kebanyakan anak perempuan di luar sana. Tapi, ingatlah bahwa
perempuan tetap perempuan.” Katanya sambil menjabat tanganku erat. Dalam
beberapa detik hatiku terenyuh. Dan
hampir saja airmataku berhamburan. Namun, segera kutahan.
“Doakan
uni ya, mak. Selamat sampai tujuan dan dimudahkan segala urusannya.” Pintaku.
Emak mengangguk sambil mengelus punggung tanganku lembut. Hatiku semakin kebat
kebit saat melepaskan pegangan tangan emak dan menjauh darinya beberapa meter.
Kedua kakiku berkata lain. Aku pun berlari kecil menghampiri emak. Dan
kulayangkan kecupan pada kedua pipinya.
Emak
menghentikan memasak di dapur. Dan mengantarku keluar rumah.
“Sudah
pamit sama Bapak?” Tanyanya di depan pintu.
“Bapak
masih tidur.” Kataku sekenanya.
“Nggak
apa-apa bangunin aja,”
Ya,
emak selalu mengingatkanku untuk tidak melewatkan hal yang satu ini. Meminta
restu pada bapak juga kakak keduaku. Baiklah, tibalah waktunya untuk aku
berangkat. Kulihat jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB.
Deru knalpot pun sudah memanggil-manggilku. Itu pertanda aku harus bergegas
keluar dari rumah. Karena adikku sudah menungguku di luar.
“Berangkat
dulu ya, mak. Assalamualaikum.”
“Hati-hati.
Waalaikumsalam.”
Gang
rumahku masih tampak lengang. Belum ada tanda-tanda anak sekolah dasar melintas.
Biasanya mereka akan mewarnai jalanan kecil ini. Kedua tangannya menggenggam
erat seplastik gorengan dan uduk atau dua mangkuk bubur ayam yang dibelinya untuk
mengganjal perutnya yang kosong. Ketika sampai di perbatasan gang. Adikku
semakin melajukan motornya kencang.
Ini
bukan kali pertama aku melakukan perjalanan menggunakan kereta api ekonomi patas
Merak. Justru karena banyak pertimbanganlah akhirnya aku memutuskan untuk
menggunakan alat transportasi umum ini lagi. Selain dapat menekan pengeluaran. Juga
dapat mencairkan kerinduan yang telah
mengkristal dalam darahku. Berpetualang. Ya, semenjak skripsi selesai waktuku terenggut
oleh segudang kegiatan mengajar.
Aku tiba
di pintu gerbang stasiun tepat pukul 06.30 WIB. Dari pintu gerbang stasiun entah
mengapa aku merasakan udara kebebasan. Darahku bergejolak saat wajahku diterpa
angin yang melintas bersamaan dengan kedatangan ular besi di depan mataku. Aku
hirup udara kebebasan itu sebanyak-banyaknya.
HUPP.
Aku
memegang gagang besi pintu masuk gerbong.
“Akhirnya,
setelah berjibaku dengan segudang aktivitas mengajar aku bisa menikmati bertualang
kembali.” Selorohku dalam hati.
Teman Baru dalam Gerbong
Ketahuilah
bahwa ketika kedua kaki ini melangkah menjauh dari rumah dengan tujuan yang
baik, Insya Allah Tuhan akan membuka pintu-pintu lainnya untuk memudahkan
perjalanan itu. Seperti perkenalan yang tanpa disengaja hari itu di dalam
gerbong kereta.
Aku bersyukur
bisa duduk sejajar diantara para perempuan. Bukan tidak mungkin sebenarnya, aku
duduk berbaur dengan laki-laki. Namanya juga alat transportasi umum. Mana bisa
kita memilih duduk dengan seseorang sesuka hati.
Aku menyapa mereka dengan mengayunkan kepala sembari
tersenyum simpul. Seorang bapak yang menyuruhku duduk di seberang pun tak luput
dari sapaanku. Bapak itu kutaksir usianya 60 tahunan kembali kekesibukannya. Begitu
pula dengan aku.
Aku
belum ingin bertanya banyak pada seseorang di samping atau di seberangku. Aku
sedang ingin menghabiskan beberapa menit merekam keindahan alam di luar jendela
gerbong. Tiba-tiba telingaku mendengar seseorang menyebut Bogor. Seketika
telingaku berpaling pada sumber suara. Pada seorang perempuan muda di pinggir
jendela yang mengaku tengah kuliah di di
Pakuan.
Aku simak
baik-baik setiap perbicangan itu. Sambil menahan rasa ingin tahu yang mulai
menggunung di kepala. Alhamdulillah aku mendapatkan teman sebangku yang juga
akan melakukan perjalanan serupa. Itu artinya aku tidak akan seperti anak ayam
yang kehilangan induknya.
Selang beberapa
menit kemudian, ketika suasana hening disaat itulah kugunakan membangun
percakapan dengan perempuan di pinggir jendela gerbong. Kuutarakan beberapa
pertanyaan yang mendesak-desak sedari tadi di kepalaku.
Bogor dan TBM Warabal
Akhirnya
kami tiba di stasiun Bogor. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam
akhirnya aku menginjakkan kaki di tanah perjuangan seorang pahlwan dari
Pandeglang. Ia adalah Kapten Tubagus Muslihat yang mendedikasikan dirinya
sebagai tentara PETA.
Kami
berpisah di bawah jalan layang stasiun. Agnes akan melanjutkan perjalanan ke
kampusnya. Yang ternyata angkutan kota (angkot) kami beda nomor.
Terik
matahari kian terasa saat aku keluar dari pintu gerbang stasiun.
Panas.
Kata
itulah yang meluncur cepat dari bibirku. Bayanganku tertumbuk pada satu tempat
yang mengundang tanya. Bukankah seharusnya sejuk karena di Bogor terdapat
tempat yang mampu meredam hawa panas. Puncak. Ah, sudahlah.
Malam
ini aku akan menginap di TBM Warabal. Pemiliknya adalah seorang perempuan hebat
yang mendedikasikan dirinya pada dunia literasi. Aku memanggilnya dengan Bude
Kis.
Bukan
tanpa alasan mengapa aku menginap di TBM Warabal. Selain jarak tempuh ke Dompet
Dhuafa lebih dekat juga aku ingin berbagi sedikit ilmu teater pada anak-anak di
sana. Mungkin pelatihan teater dalam semalam itu tidak dapat berpengaruh besar
terhadap perkembangan anak-anak binaan TBM Warabal. Tetapi, aku yakin sekecil
apapun ilmu yang dibagikan pastilah bermanfaat. Insya Allah.
Dompet Dhuafa
Bismillah.
Aku berdoa lirih dalam hati.
Aku melangkahkan kaki ke pintu masuk gerbang
yang merupa seperti sekolah. Benar saja dari ujung gerbang masuk, mataku langsung
menangkap beberapa siswa yang keluar masuk ruang kelas. Mereka mengenakan
pakaian yang seragam.
“Mereka
siswa SMART yang diperuntukan untuk SMP hingga SMA. Mereka datang dari segala
penjuru kota di Indonesia. Mereka mengikuti kelas akselerasi 5 tahun dalam
menempuh pendidikannya.” Papar Imam saat ditanya melalui akun BBMnya padaku.
Bersih
dan rapih. Begitulah kesan yang kutangkap dari tempat itu. Sepertinya konsep bangunan
hijau benar-benar diterapkan di sana. Berbagai pohon yang di tanam di tiap
sudut mampu membuat hati dan jiwaku tenang.
Hiruk
pikuk siswa tak ubahnya seperti berada dalam pesantren modern. Hal itu kian
kentara saat kedua kakiku tiba di pelataran masjid. Anak murid dan guru-gurunya
begitu sibuk. Tiba-tiba aku tertarik dengan satu bangunan di seberang masjid.
Bangunan hijau muda yang berdiri kokoh tepat di depan mataku.
“Aku
pernah lihat banguan itu di Televisi.” Seruku dalam hati.
Tiba-tiba
terlintas harapan besar dalam benakku. Menjadi bagian dari guru-guru yang dibentuk
oleh Dompet Dhuafa dengan nama Sekolah Guru Indonesia. Tahun ini telah memasuki
angkatan 15. Dan aku benar-benar ingin sekali mendedikasikan diriku untuk
keberhasilan anak-anak yang jauh dari pusat kota. Yang minim informasi bahkan
pendidikan yang semestinya mereka dapatkan tak ayal terlupakan. Harapan untuk
menjadi seseorang yang membanggakan kedua orang tua dan menjadikan anak-anak di
pelosok negeri agar berani bermimpi. Menjadi anak-anak yang dapat mengharumkan
nama negerinya.
Pulang
Mak aku
pulang. Aku tak bisa membelikan berbagai macam buah
tangan. Yang sudah menjadi kebiasaan di rumah jika berpegian jauh selalu
membawa oleh-oleh. Tetapi, manisan bogor yang terkenal di sana kubelikan
setoples. Tidak banyak memang, semoga dapat dimaklumi.
Mak,
waktu yang berjalan cepat tak dapat membuatku menikmati perjalanan ini. Jujur,
ketika beberapa tempat yang bisa kulihat di televise hanya bisa dinikmati di
dalam angkutan kota. Seperti angkot nomor 03 yang membawaku pulang. Angkot itu melintas
di depan Istana Negara, Tugu Selamat Datang Bogor dan Kebun Raya aku hanya bisa
mengabadikannya lewat foto. Dan aku merasa itu sudah lebih daripada cukup. Meski
hanya melihatnya dari kejauhan dan di balik jendela angkutan umum.
Mak aku
pulang, membawa cerita yang mungkin takkan usai meski kuukir menjadi sebuah
tulisan. Mak kecupan kemarin pagi masih terasa dibibirku. Mak peluk aku saat
pintu rumah terbuka. Entah mengapa sesore ini airmataku luruh. (*)