Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
gelakku rayu!
(Doa,
Amir Hamzah)
Perjumpaanlah yang
akan menyatukan mereka pada satu titik dimana ada cinta diantara mereka. Yang
tengah bersemi dan dipupuk oleh doa. Ia masih menunggu perjumpaan manis itu. Perjumpaan
dengan lelaki idamannya. Yang sampai detik ini masih tak dijumpai dalam nyata. Kini,
perjumpaan dengan lelaki itu hanya tinggal angan. Sebab, hati diantara mereka tak
lagi dapat dipertahankan. Lelaki itu selalu bilang bahwa hati manusia dapat dibolak-balikan
olehNya. Dan lelaki itu telah membuka pemahamannya akan arti ketulusan sebuah cinta.
Mereka memang tak
pernah saling mengikat satu sama lain. Tetapi, suatu ketika salah satu dari mereka
mengutarakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Yang pada akhirnya mereka
memutuskan untuk taaruf. Perasaan itu lahir seiring berjalannya waktu. Dan itu
diyakini bahwa perasaan yang diam-diam lahir dan tumbuh dihati mereka adalah naluriah
karena kehendakNya. ‘Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah.’ (QS adz-Zaariyat [51]: 49).
“Bulan depan, Abang
akan sibuk sekali. Jadi, mungkin tidak bisa menghubungi adek atau sebaliknya.
Maaf ya dek.” Lelaki itu menutup percakapannya. Dari seberang sana, kesibukan
begitu kentara.
Sejak saat itu,
lelaki itu tak pernah memberinya kabar. Ia menghilang. Seperti pada malam-malam
berikutnya, riuh suara di depan kamar tamu tak lagi terdengar. Dan, perempuan itu masih menanti terleponnya berdering.
Dan untuk kesekian kalinya, lelaki itu membuatnya resah dan patah hati.
Tiga bulan telah
berlalu, namun si perempuan masih menanti perjumpaan dengan lelakinya. Ia
dihantui oleh keresahannya. Akan ketulusan cintanya.
“Bodoh!” Ia merutuk
dirinya sendiri. Berharap akan tumbuh kebencian dalam hatinya. Dan tak ada lagi
kata cinta yang tulus untuk lelakinya. Sayangnya, itu tak terjadi. Di tengah
kegundahan seperti malam itu. Hatinya meradang. Puncaknya adalah di saat
kerinduan itu datang. Hatinya bagai dihantam oleh ombak. Di saat itulah ia akan
memutar rekaman lelakinya yang tengah melantunkan ayat-ayatNya. Dengan begitu
ia mampu meredam segala gejolak kemarahan, kebencian, dan kerinduanya yang
berkecamuk dalam hatinya. Ayat-ayat yang dilantukan lelaki itu mampu membuatnya
tenang. Ketenangan menjalar hingga nadinya. Hingga tak kuasa ia menitikan
airmata.
Kebodohan yang
dirasakan membuka penalaranya akan sebuah penafsiran bahwa sesungguhnya rasa
cinta seorang manusia tak boleh melebihi pada Tuhannya. Betapa si perempuan
menyesal akan ketulusan cinta yang lahir dalam dirinya.
Sekalipun
penyesalan itu menghantuinya. Tetapi, ia percaya bahwa perkenalan dengan lelaki
itu juga adalah kehendakNya. Tak ada perjumpaan dan perpisahan. Cinta yang
tumbuh dalam beberapa bulan itu nyatanya mampu memberikan energi positif bagi
si perempuan. Salah satunya adalah ingin menjadi perempuan yang sholehah di
mataNya. Meski akhirnya cerita cintanya tak berakhir manis. Namun, tak
sedikitpun berkeinginan melupakan kenangan manis itu bersama lelakinya. Rekaman
mengaji adalah bukti bahwa rasa cintanya masih ada. Dan ia akan memupuknya lewat doa.