Pagi itu (09/12), langit enggan menampakan cahayanya. Awan
gemawan yang kehitaman seolah tak ingin beranjak pergi dan menjauh.
Namun itu tidak berlangsung lama. Karena tergantikan dengan sinar
mentari yang cerah. Kulirik jam yang bertengger di ruang tamu telah
menunjukan pukul 07.00 WIB. Segera kulangkahkan kaki menuju Rumah Dunia.
Jalanan
masih basah. Hujan semalam yang mengguyur Kota Serang rupanya
meninggalkan sisa-sisanya pada pucuk dedaunan. Bentuknya yang
bergelembung dan berada di ujung-ujung daun, bergelantungan bagai
lampu-lampu natal ketika sang mentari menyorotinya. Indah sekali.
Kami
menempuh perjalanan Serang-keramat Watu menuju Gunung Pinang dengan
menggunakan mesin roda dua. Tiga motor banyaknya dengan masing-masing
mkami konvoi pergi bersama-sama. Membawa semangat dan suka cita mendaki
gunung Pinang.
Vario hitam yang dikendarai Dimar terus melaju
kencang. Menyibak jalanan yang tidak begitu ramai. Meliuk-liuk diantara
kendaraan yang bobotnya lebih besar ketimbang motornya. Aku yang
diboncengnya sebenarnya was-was. Bercampur cemas. Kucoba tuk menenangkan
sejenak pikiran yang sempat mengganggu. Dengan memberikan keyakinan
pada hati bahwa kita pasti akan baik-baik saja.
Gunung Pinang
sudah tampak di ujung sana. Berarti jaraknya sudah dekat. Aku ingin
cepat sampai di sana. Menghirup udara yang segar dan bebas dari polusi.
Kedua mataku tidak akan berhenti belarian di setiap deretan pepohonan
besar dan tentunya sudah berpuluh-puluh tahun berada di sana. Mendengar
suara cericit burung-burung liar yang sedang menarik si betinanya.
Serangga-serangga yang sedang hinggap dibebatangan pohon-pohon.
Kupu-kupu yang menari-nari bersama pasangannya. Aku jadi kangen dengan
suara-suara sewaktu mendaki Gunung Pulosari, Pandeglang beberapa bulan
yang lalu. Barangkali aku akan menemukannya lagi. Suara hewan yang
melengking-lengking. Membahana di segala penjuru mata angin.
Akhirnya
kami sampai di bawah Gunung Pinang. Kedua mata kami langsung disambut
oleh sekelompok baikers yang notaben dari mereka adalah penggiat sepeda
balap. Kedua mataku membulat. Aku berdecak kagum saat melihat
sepeda-sepeda balap itu. Sumpah itu Kerennn abiezz!!!
Dengan
membayar sejumlah uang sembilan ribu rupiah kami mulai mengangkat kaki
pelan-pelan namun pasti. Teman mendaki kami telah bertambah seorang
lagi. Dia membawa anaknya dalam pendakian ini. Aku hanya senyum-senyum.
“Cuma sejam kok dek nggak bakal kerasa kalau bareng-bareng gini, mah” Seloroh si Ibu sambil memberikan 4 tiket kepada Kak Jack.
Aku
menatap medan di depanku yang lurus dan panjang. Diapit oleh pepohonan
besar dan tinggi di sisi kiri kananya, yang umurnya diperkirakan sudah
lebih dari sepuluh tahunan. Aku mulai menapaki jalan setapak yang
panjang dan tentu tak lupa kuiringkan sebait doa kepada yang Maha,
semoga perjalanan hari itu diberi kelancaran.
Aku dan
rekan-rekanku yang lain sudah barang tentu tidak ingin kehilangan moment
pendakian ini sia-sia belaka. Dan harus diabadikan. Setidaknya
beberapa foto-foto bertengger di Facebook atau twitter. Jiahhh, dasar.
Langsung saja jurus narsis pun di keluarkan. Jepret, jepret. Cukup. Kami
tersenyum puas.
Baru setengah mendaki, berat kakiku sudah mulai
terasa. Kepala terasa panas sekali. Napas yang tidak beraturan. Semuanya
jadi satu. Entah sudah berapa kali teguk air putih menghilangkan
dahagaku. Keringat bercucuran disekujur tubuhku.
Disepanjang
perjalanan itu, mataku hanya disuguhi deretan pepohonan. Tidak ada yang
lain. Bahkan suara binatang yang ingin sekali kudengarkan saja,
telingaku belum menangkapnya. Padahal aku sudah berjalan sejauh ini.
Namun, sejauh ini belum ada yang bisa membuatku terperangah atau
berdecak kagum. Tetapi ketika sekelompok baikers hendak melewati aku.
Kakiku berhenti seketika. Aku jepret aksi mereka yang sangat menakjubkan
dengan kamera handphone-ku.
Pelan-pelan rasa kecewaku yang sempat
melanda sedikit terobati. Di susul kemudian dengan pemandangan yang
sangat luar biasa di belakangku. Aku membelalakan kedua mataku sambil
menyimpulkan senyuman sambil mengatakan, “KEREN.” Hingga berulang-ulang
kali. Ini baru weekend. Kataku dalam hati.
Perjalanan ini berakhir
di tanah Kesultanan Banten Lama. Beberapa objek wisata yang ada di
Banten Lama tidak luput dari tinjauan kami. Mulai dari Masjid Pacinan,
Surosowan, Viara Avalokitevara. Dengan tenaga yang dikerahkan itu tidak
terlepas dari makan siang yang sangat spesial. Soto ayam buatan
temannya Kak Jack. Terima kasih ya.
***