Guru sebagai pengajar, perkara biasa.
Guru sebagai agen pembelajar, itu baru luar biasa.
(Asep Sapa’at)
Ritme
pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun belum mengalami perubahan yang
signifikan. Apalagi di daerah-daerah yang berada di kawasan 3T; Terpencil,
Terpelosok dan Tertinggal. Puncaknya ketika sebuah kebijakan yang dibuat oleh
menteri pendidikan Muhammad Nuh tentang kurikulum 2013 dikeluarkan. Sisi
positif yang dapat dipetik adalah karena tiap butir kurikulumnya melahirkan
siswa-siswa yang berkarakter.
Hingga
kini, kurikulum 2013 masih menjadi bahan obrolan hangat di setiap sekolah.
Beberapa memang menerapkan kurikulum ini. Kualifikasi dan standarisasi tak
dapat dielakkan. Jika memang sekolah itu memenuhi standar yang sudah ditetapkan
pemerintah. Maka sekolah tersebut akan menjadi sekolah model. Lalu apakah
siswa-siswanya berkarakter? Wallahualam.
Perubahan
kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013 dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sekolah
Menengah Atas saja melainkan pada pendidikan Sekolah Dasar juga. Kendati
demikian, hal klasik yang masih belum terpenuhi oleh guru-guru di Indonesia. Adalah
memberikan perhatian lebih dalam menilai anak didiknya. Dalam hal belajar
ataupun bersikap. Sehingga tugas guru tidak hanya mengajar di kelas. Namun juga
menjadikan anak didiknya berkarakter seperti yang diharapkan pada kurikulum
2013.
Ketidakmerataan
penggunaan kurikulum di Indonesia yang masih timpang. Membuat Sekolah Guru
Indonesia prihatin. Keprihatinan itu kemudian menginisasi untuk membentuk
sebuah Program yang dinamakan sekolah literasi. Dan pada angkatan 16
professional class tahun ini, diharapkan mampu membawa angin segar pada dunia
pendidikan di Indonesia. Terutama untuk pendidikan Sekolah Dasar. Alasan mengapa
mengambil pendidikan Sekolah Dasar. Adalah karena akar pendidikan karakter yang
baik ditanamkan dari dini. Dan literasi adalah cara yang diyakini dapat
memberikan dampak positif dalam pembentukan karakter anak-anak. Seperti kata Umar Bin Khatab “Ajarkanlah
sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut menjadi pemberani.”
Sekolah
Guru Indonesia akan membawa perubahan nyata pada dunia pendidikan. Menyebarkan guru-guru
transformatif ke daerah-daerah se-Nusantara. Untuk menjadi seorang pendamping.
Tugasnya adalah mengubah paradigma dan menyebarkan virus bahwa seorang guru
yang baik adalah dapat memecahkan masalah. Dan memberikan solusi dari berbagai
masalah yang muncul di sekolah. Bukan malah menambah masalah.
“Guru-guru yang dibentuk di Sekolah Guru
Indonesia tidak hanya sekedar guru. Bukan pula sekedar seorang pemimpin tetapi
dia adalah seorang dokter pendidikan. Yang dapat memberikan solusi dalam
memecahkan persoalan di bidang pendidikan.” Tegas Zayd Saefullah suatu sore di
dalam ruang kelas ketika mentoring.
Dunia
literasi memang bukan hal baru di Indonesia. Terutama untuk komunitas yang hingga
kini masih aktif menyebarkan virus literasi. Padahal sudah belasan tahun. Adalah
Rumah Dunia. Sebuah pusat belajar anak muda Banten yang tidak hanya mencetak
penulis dan wartawan setiap angkatannya. Namun juga segudang kegiatan yang
bersinggungan dengan dunia literasi.
Jika
Rumah Dunia mencetak orang-orang yang kompeten dalam ranah tulis menulis. Lain halnya
dengan Sekolah Guru Indonesia. Di Sekolah Guru Indonesia menetaskan guru-guru
yang transformatif. Yang tidak hanya dibekali kemampuan mengajar mumpuni. Tetapi
juga menjadi agen pembelajar. Yang mau belajar apapun. Dan memposisikan dirinya
dimanapun berada.
Budaya
literasi tidak hanya sebatas membaca dan menulis. Namun juga kecakapan dalam
hal berhitung. Dan gerakan Sekolah Guru Indonesia seolah menyempurnakan dunia
literasi yang dibutuhkan oleh sekolah. Bahwa di dalam literasi sekolah tedapat Sistem
Instruksional dan Budaya Sekolah.
Antara
Sistem instruksional dan Budaya Sekolah masing-masing memiliki hubungan yang
kuat. Kepemimpinan pembelajaran, efektivitas pembelajaran, dan kecakapan
literasi dan matematika adalah sistem instruksional yang jika dijalankan dengan
baik maka menghasilkan kepemimpinan sekolah, lingkungan belajar dan pembentukan
karakter yang baik pula. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar