Sepertinya
menangis adalah caraku untuk membuat hati tenang. Mungkin menurut sebagian
orang terlalu banyak menangis dibilang cengeng. Tetapi, bagiku menangis berarti
menumpahkan segala kegundahan yang menyesakkan. Dan akan merasa baikan bila
tangis itu pecah.
Seperti semalam itu
airmataku terus saja mengalir deras bila membayangkan peristiwa pagi tadi. Puncak
keharuan yang tak berujung itu begitu kentara sepulang dari Rumah Dunia. Dan
tak kunjung berakhir saat bus melaju membawaku menjauh dari emak yang berdiri
kokoh di bahu jalan.
Sebenarnya aku
sudah menahan bendungan airmata ini dari jauh-jauh hari. Agar tidak terlalu
mengharu biru. Tetapi, kenyataan tetaplah kenyataan aku yang terlalu mudah
tersentuh dan perasa pada akhirnya menangis juga. Maafkan aku.
Musim
Hujan
Hujan lebat
disertai petir menyambut kedatanganku di Bogor. Bus mini Pusaka yang kutumpangi
masih terlihat lengang. Hanya ada dua penumpang. Tetapi setelah setengah
perjalanan penumpang mulai berjejejan.
Tarif mini bus
dari Terminal Baranangsiang ke Jampang sangat variatif. Yang membedakan adalah
jarak tempuhnya. Seperti aku misalnya, tarif yang dikenai untuk perjalanan dari
terminal adalah sepuluh ribu rupiah.
Hujan sore itu
kian menjadi-jadi. Seperti juga supir bus yang kian menambah kecepatan lajunya
setelah bangku-bangku kosong terisi penuh. Derasnya air hujan yang menimpa atas
bus tak dapat tertampung. Air hujan masuk di sana sini. Aku sampai kewalahan
memindahkan koper dari kanan ke kiri.
Ada perasaan tak
karuan yang menghinggapi hatiku. Sebuah pertanyaan pun terlintas dalam benakku.
Akan berhentinya hujan. Yang tak jua memberikan tanda mereda bagaimana bisa aku
turun dari mini bus ini.
Perjalanan ke
Dompet Dhuafa memakan waktu kurang lebih setengah jam. Aku merengkuh perutku.
Kuusap pelan-pelan. Gorengan yang mengganjal perutku rupanya tak membuat
kenyang. Seketika menu makan siang masakan emak membayang di pelupuk mata.
“Aih kenapa di
saat seperti ini aku lemah.” Gerutuku dalam hati.
Ah, sepertinya
aku harus terbiasa dengan hujan. Karena, Bogor adalah kota hujan.
Asrama
SGI
Aku
tertatih-tatih membawa koper dari depan bangunan hingga masuk ke dalam. Ketika
sampai di bibir masjid aku berhenti. Sebuah gedung berlantai dua berdiri kokoh
dari kejauhan.
Aku lirik koper
di lantai. Aku terhenyak dalam beberapa detik. Lalu seorang anak laki-laki yang
baru selesai shalat menyapaku. Tanpa basa basi, dia menawarkan dirinya untuk
menolongku. Sontak aku mengiyakan. Pada situasi seperti ini, rasanya menerima
bantuan begitu kuharapkan.
“Terima kasih
dek,”
“Iya, kak.”
Aku tiba di
depan paviliun 1 lantai 1. Pintu sudah terbuka lebar, itu berarti sudah ada
yang mengisi kamar. Samar-samar aku mendengar suara-suara yang keluar dari
kamar 3. Seorang perempuan yang pernah kukenal dan bertemu di Atmajaya keluar.
Rupanya dia diantar kedua orang tuanya. Aku menyapa mereka. Ya, dalam tiga bulan ke depan aku dan 10 perempuan di paviliun ini akan berkumpul dan belajar bersama*
keren... mba'
BalasHapusterimakasih... simak terus tulisan berikutnya. hehehe
HapusCerita nunggu di pos depan gak dituliskan... Hehehe
BalasHapusJudul yang tepat buat tulisan ini adalah, selamat datang hujan... Hehehe
Ditunggu tulisan2 selanjutnya
Terlalu melebar nantinya mas. Mending nunggu tulisan berikutnya aja ya ... hihihi.. terlalu melankolis itu mas. Dak aku mah apa atuh. Oke...
Hapus