Membaca
novel Existere karya Sinta Yudisia yang menyoroti soal perempuan membuat hatiku
bergetar sekaligus gusar. Pasalnya perempuan-perempuan yang ada dalam cerita
ini rela mengorbankan apapun. Sekalipun itu kesuciannya.
Kebahagiaan,
ketulusan, kesendirian, keprihatinan, dan kepiluan yang mereka jalani tentu adalah
nyata. Bukan fiksi belaka. Sinta ingin menekankan pada pembaca bahwa perempuan
yang menceburkan diri ke dalam lembah hitam itu bukan karena kemauannya.
Melainkan karena kemiskinan yang kian hari kian menjeratnya. Ia juga ingin
menyampaikan bahwa orang-orang seperti mereka sebenarnya hidup dalam kegetiran
dan ketakutan. Lalu mereka tak ingin kelaparan. Miris. “Lapar adalah ketika
sepekan berturut tak ada makanan layak yang masuk perut. Lapar adalah ketika
sedikit uang untuk membeli beras, terpaksa bergilir memakannya. Lapar adalah
ketika lauk tempe, tahu, kecap, sayur kangkung, tak bisa beriringan. Jika siang
memakan tahu dan sayur toge, jangan harap malam bisa makan lagi. Lapar adalah
tumpukan utang di warung sekililing. Lapar adalah rasa malu, hina, dan harga
diri. Lapar adalah rasa nyeri di ulu hati, perih di dada, mulut berdusta” (Hal
75).
Sebagai
seorang perempuan yang dianugerahi intuisi oleh Tuhan sebagai makhluk yang amat
peka dan perasa. Aku merasakan betul pergolakan batin seorang perempuan lewat
berbagai konflik yang muncul. Jamilah (Milla), Almaida, dan Qoshirotu Thorfi
(Ochi) menjadi pusat dalam cerita ini. Meski ceritanya tumpang tindih dan
terkesan melompat-lompat dari cerita satu ke cerita lainnya namun buku setebal
365 lembar dengan jumlah episode 12 selesai kubaca.
Setiap
sisi perempuan serasa dikupas tuntas oleh Sinta. Betapa Sinta ingin menguatkan
kesannya pada pembaca bahwa perempuan itu tidak lemah. Sekalipun kemiskinan kian
hari kian menghimpit Jamilah. Perempuan Tegal yang meninggalkan kampungnya dan
memutuskan hijrah ke Surabaya. Agar keluarga tercintanya tak lagi digerogoti
kemiskinan ia menerima tawaran Jean menjadi seorang pelacur profesional. Pernyataan
Jamilah “Tak pernah keterbatasan membuat Jamilah dan adik-adiknya membenci
kemiskinan.” (Hal 5)
Sosok
Almaida dalam cerita ini pun kian menarik. Perempuan berparas cantik dan
berjilbab adalah anak bungsu dari seorang pengusaha kaya raya. Kesempurnaan
fisik dan kekayaan orang tuanya yang berlimpah ruah tak membuatnya merasa
bahagia. Ibunya yang penuntut, kakaknya yang gila seks dan Ayahnya yang lemah
pada isterinya. Lalu pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan dalam benak Almaida
seperti pada hal. 57 “mungkinkah dirinya salah masuk ke keluarga ini?
Jangan-jangan dirinya hanya anak adopsi yang kebetulan wajahnya mirip dengan
Hepi.”
Sudut
pandang Sinta terhadap perempuan digambarkannya dengan lugas, kuat dan apa
adanya. Ia juga tak ketinggalan menanggalkan bumbu-bumbu romance dalam novel ini. Kisah percintaan sembunyi-sembunyi antara
Waluyo dan Milla hingga terang-terangan dari seorang perempuan bernama
Qoshirotu Thorfi (Ochi), Vanya dan Yassir. Kisah cinta segitiga antara Ochi,
Vanya dan Yassir seolah memberi napas baru bagiku sebagai pembaca.
Banyak
petuah-petuah yang menyentil soal agama islam. Dan itu tidak terkesan
menyindir. Namun, memberikan pemahaman lain dalam menyikapi suatu permasalahan.
Sentilan itu ditujukan kepada mereka yang berumah tangga. Seperti pada di hal.
250 “Adakalanya suami bukan teman, Nduk. Kadang-kadang suami malah jadi musuh.
Satu-satunya teman kita hanya Gusti Allah. Bekal utama seorang isteri adalah
kesabaran. Pernah Kanjeng Nabi memuji seorang perempuan yang lewat di depannya
dan mengatakan ia calon penghuni surga karena sabar.”
Novel
yang diterbitkan Lingkar Pena Kreativa tahun 2010 seolah menyibak mata hati dan
batinku untuk menyikapi kehidupan nyata. Bahwa kehidupan yang dijalani oleh
setiap manusia adalah kuasaNya. Yang hidup berjibaku sebagai penjaja cinta,
hidup dalam ketidakbahagiaan meski melimpah kekayaan hingga perempuan yang
mendambakan sejatinya cinta karena tak dikarunia rahim yang sempurna. Semua
karena kekuasaanNya.*