Senin, 16 November 2015

Mimpiku di Mulai dari Sekolah Guru Indonesia


Pagi yang puitik oleh tangis
Sepertinya menangis adalah caraku untuk membuat hati tenang. Mungkin menurut sebagian orang terlalu banyak menangis dibilang cengeng. Tetapi, bagiku menangis berarti menumpahkan segala kegundahan yang menyesakkan. Dan akan merasa baikan bila tangis itu pecah.
Seperti semalam itu airmataku terus saja mengalir deras bila membayangkan peristiwa pagi tadi. Puncak keharuan yang tak berujung itu begitu kentara sepulang dari Rumah Dunia. Dan tak kunjung berakhir saat bus melaju membawaku menjauh dari emak yang berdiri kokoh di bahu jalan.
Sebenarnya aku sudah menahan bendungan airmata ini dari jauh-jauh hari. Agar tidak terlalu mengharu biru. Tetapi, kenyataan tetaplah kenyataan aku yang terlalu mudah tersentuh dan perasa pada akhirnya menangis juga. Maafkan aku.

Musim Hujan
Hujan lebat disertai petir menyambut kedatanganku di Bogor. Bus mini Pusaka yang kutumpangi masih terlihat lengang. Hanya ada dua penumpang. Tetapi setelah setengah perjalanan penumpang mulai berjejejan.
Tarif mini bus dari Terminal Baranangsiang ke Jampang sangat variatif. Yang membedakan adalah jarak tempuhnya. Seperti aku misalnya, tarif yang dikenai untuk perjalanan dari terminal adalah sepuluh ribu rupiah.
Hujan sore itu kian menjadi-jadi. Seperti juga supir bus yang kian menambah kecepatan lajunya setelah bangku-bangku kosong terisi penuh. Derasnya air hujan yang menimpa atas bus tak dapat tertampung. Air hujan masuk di sana sini. Aku sampai kewalahan memindahkan koper dari kanan ke kiri.  
Ada perasaan tak karuan yang menghinggapi hatiku. Sebuah pertanyaan pun terlintas dalam benakku. Akan berhentinya hujan. Yang tak jua memberikan tanda mereda bagaimana bisa aku turun dari mini bus ini.
Perjalanan ke Dompet Dhuafa memakan waktu kurang lebih setengah jam. Aku merengkuh perutku. Kuusap pelan-pelan. Gorengan yang mengganjal perutku rupanya tak membuat kenyang. Seketika menu makan siang masakan emak membayang di pelupuk mata.
“Aih kenapa di saat seperti ini aku lemah.” Gerutuku dalam hati.
Ah, sepertinya aku harus terbiasa dengan hujan. Karena, Bogor adalah kota hujan.

Asrama SGI
Aku tertatih-tatih membawa koper dari depan bangunan hingga masuk ke dalam. Ketika sampai di bibir masjid aku berhenti. Sebuah gedung berlantai dua berdiri kokoh dari kejauhan.
Aku lirik koper di lantai. Aku terhenyak dalam beberapa detik. Lalu seorang anak laki-laki yang baru selesai shalat menyapaku. Tanpa basa basi, dia menawarkan dirinya untuk menolongku. Sontak aku mengiyakan. Pada situasi seperti ini, rasanya menerima bantuan begitu kuharapkan.
“Terima kasih dek,”
“Iya, kak.”
Aku tiba di depan paviliun 1 lantai 1. Pintu sudah terbuka lebar, itu berarti sudah ada yang mengisi kamar. Samar-samar aku mendengar suara-suara yang keluar dari kamar 3. Seorang perempuan yang pernah kukenal dan bertemu di Atmajaya keluar. Rupanya dia diantar kedua orang tuanya. Aku menyapa mereka. Ya, dalam tiga bulan ke depan aku dan 10 perempuan di paviliun ini akan berkumpul dan belajar bersama*





4 komentar:

  1. Balasan
    1. terimakasih... simak terus tulisan berikutnya. hehehe

      Hapus
  2. Cerita nunggu di pos depan gak dituliskan... Hehehe

    Judul yang tepat buat tulisan ini adalah, selamat datang hujan... Hehehe
    Ditunggu tulisan2 selanjutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terlalu melebar nantinya mas. Mending nunggu tulisan berikutnya aja ya ... hihihi.. terlalu melankolis itu mas. Dak aku mah apa atuh. Oke...

      Hapus