Sabtu, 21 Februari 2015

Sebuah Renungan


Siang itu matahari begitu terik. Kulit tangan hingga pori-pori kepalaku terasa seperti terbakar. Sesekali aku menyeka keringat yang membanjiri kening dan hidungku. Entah mengapa dadaku bergolak ketika ban roda dua menggilas jalan raya Cijawa. Dalam hati aku membatin mengapa di sepanjang jalan raya Cijawa pohon-pohonnya harus ditebangi. Padahal pohon-pohon yang berjejer di sepanjang bibir jalan raya itu sangat bermanfaat. Sekedar untuk melepas penat dan berteduh kala hujan datang tak terduga. Ya, pohon-pohon itu akan menjadi payung alam bagi pejalan dan pengayuh roda dua seperti aku ini.
Proyek pelebaran jalan yang sudah berjalan beberapa bulan belum juga kunjung selesai. Setelah Kebon Jahe dan Cijawa Masjid ditanami beton-beton menggantikan pepohonan. Takkan lama lagi pohon-pohon yang bejejer di bibir jalan Sekolah Menengah Kejuruan 1 dan 2 pun juga akan ditumbangkan. Beton-beton tertancap dan mengakar di tanah. Tidak ada akar pohon. Tidak ada penyerapan.
Apa jadinya jika pepohonan tak ada satupun yang berdiri kokoh di sana. Bukankah akar pepohonan dapat membantu proses penyerapan air. Bila tak ada pepohonan bukan tak mungkin jika hujan mengguyur maka banjir akan melumat aspal jalanan. Lalu siapa yang akan dirugikan. Kalau bukan kita si pengguna jalan kecil ini.
Perasaan yang kian berkecamuk dalam dada dan hati segera kusingkirkan. Aku tak mau bila terus menerus diliputi prasangka yang bukan-bukan, terlebih memandang arti sebuah kedudukan. Bagiku yang kuat hanya milik mereka yang berkuasa. Aku hanya satu diantara banyak masyarakat yang tidak memiliki kuasa penuh untuk mengubah apapun. Terlebih menata panggung kehidupan negeri ini.
Kehidupan yang sedang kujalani sudah rumit sekaligus pelik. Mengapa aku mesti menjejalinya lagi dengan hal-hal seperti itu. Lebih baik aku memikirkan cara agar aku dapat mengeluarkan adik-adikku dari jerat kemiskinan. Bukan miskin harta. Bukan. Tapi miskin percaya diri. 
Sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara, hanya aku yang melanjutkan sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dan itu tidak mudah memang. Aku harus bergulat dengan berbagai argumentasi mulai dari pergolakan dalam keluarga hingga semua yang berada dalam tubuhku. Semuanya saling berdesakkan di kepalaku. Klimaknya aku meledakkannya dengan menyerahkan kepada sang Murabi. 
Aku tak pernah menyesal terlahir dari rahim seorang perempuan yang mengandalkan tenaganya sebagai tukang pijat. Lalu Bapak yang ketika masih muda dan kuat menyandang profesi sebagai pedagang ikan di pasar tradisional. Dari merekalah aku banyak belajar bagaimana menyikapi dan memaknai sebuah kehidupan. Dan dari mereka jualah aku banyak bercermin bagaimana sikap yang diambil saat  kemiskinan itu terus menyelimuti. Aku mematahkannya lewat membaca buku. Buku-buku yang kubaca nyatanya memang kian memantapkanku dalam memandang masa depan.

Kini diusiaku yang telah menginjak 22 tahun, aku sedang berusaha melawan kemiskinan. Tak hanya kemiskinan materi yang menghadangku tetapi ilmu dalam keluargaku. Demi sekolah, aku melakukan apapun. Asal tidak menjual diri. Aku akan menuntut ilmu setinggi mungkin.  Dan sebagai mahasiswa tingkat akhir kewajibanku hanya satu yakni mensegerakan kelulusan. Lalu menunaikan ikrar batin dan hati yang begitu mendamba untuk merantau.*

1 komentar: