Minggu, 15 Februari 2015

Manusia Langit; Bukan Manusia Biasa


Untuk memperkuat pendapatku pada novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya maka kubaca sekali lagi. Aku cermati setiap alur ceritanya. Bahkan sesekali aku akan mengulangi setiap kalimat yang dibangun penulisnya dengan seksama. Agar aku dapat menangkap maksud ceritanya.
Membaca novel etnografis yang diterbitkan oleh Kompas  setebal 207 halaman bercerita tentang manusia langit pada suku Banuaha di pulau Nias tak ubahnya sedang membuka buku sejarah. Meski si penulis meracik isinya dengan membumbuhkan alur cerita yang bergaya fiksi namun tetap saja ia tidak menghilangkan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Betapa tidak ia ingin mengajak si pembaca untuk mengingatkan kembali kehidupan di masa prasejarah. Masa dimana keberlangsungan hidup manusia kala itu hanya melakukan berburu dan berladang (hal 33). Manakala tempat peburuannya telah habis maka mereka akan berpindah tempat. Sehingga tempat tinggal mereka tidak pernah nomaden.
Kemunculan tokoh perempuan Arab yang berparas cantik pada bagian prolog oleh si penulis bukan tak ada maksud sepertinya. Justru menjadi kekuatan yang mampu menarik si pembaca agar penasaran. Rasa penasaran yang datang begitu saja membuat si pembaca tak rela jika tak menuntaskan bacaannya.
Lalu si pembaca digelayuti pada berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu berdesakan dalam pikiran si pembaca. Seperti siapakah perempuan yang berulang kali menitikkan air mata itu? Mengapa ia menitikan air mata setelah membaca buku itu? Buku apa sebenarnya yang dibaca oleh perempuan itu? Lalu apa hubungannya periuk dan bayi dengannya? Siapakah anak yang sedang terlelap di sampingnya? Semua pertanyaan ini akan satu persatu terjawab usai kita membacanya.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Mahendra. Seorang dosen arkeolog muda yang terkenal gila kerja diantara teman-temannya (hal 50). Kehidupannya hanya didedikasikan untuk belajar dan bekerja (hal 55). Tetapi, pendirian Hendra berubah seketika setelah mengenal Yasmin salah satu mahasiswinya.
Berawal dari diskusi kecil di kantin kampus. Lalu merambah ke tempat biliar di Cineta Jogya. Mereka yang selalu bersama-sama membuat kebersamaan yang berlangsung lama itu menumbuhkan benih-benih cinta. Ini dipertegas Hendra (hal 51), “Yasmin, setelah setahun kita sering bersama dan bicara, apakah itu tidak berarti buat Yasmin? Apakah Yasmin tidak menyadari bahwa kita saling suka?”
Pergolakan hati dan batin yang dirasakan Hendra semakin mengakar hingga ia mengukuhkan niatnya untuk melamar Yasmin segera. Sayang, rencana Hendra tidak disambut baik oleh kedua orang tua Yasmin. Hingga kejadian yang sama sekali tidak diinginkan Hendra terjadi. Yasmin mengandung. Itu ditegaskan oleh sms Yasmin sebelum dia benar-benar menghilang bagai ditelan bumi.
Mas, aq skrg lg ngandung anak qt. Aq tdk mau ganggu hidup Mas yang sdh bgt  mapan. Jd, utk yg 1 ini biar aq yg nanggung sendiri. Tlg jgn cari aq’ (Hal 62).
Selang dua bulan Hendra mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Penemuan mayat perempuan yang diduga seorang mahasiswa terbujur kaku di sebuah kamar hotel di pusat kota Yogya. Hendra meyakini bahwa perempuan itu adalah Yasmin. Hatinya hancur. Ia patah hati. Hingga tak ayal ia dihinggapi rasa bersalah yang mendalam.
Yasmin dan kampus adalah sederet kenangan indah di kota pelajar yang terpaksa ditinggalkan Hendra. Bukan karena bosan, melainkan Hendra merasa ia tidak pantas hidup di universitas yang berisi orang-orang terhormat (hal 65). Kejadian yang telah memukulnya keras itulah kemudian mendamparkannya di dunia yang masih terisolasi.
Penemuan periuk bayi di ladang milik Pak Mbowo Laiya yang tengah diteliti oleh Hendra ternyata menguak cerita silam orang Belada yang telah lama punah. Dan masa lalu Hendra yang memilukan. Juga seorang anak suku Banuaha, Sayani.
“Ibarat  sedang menyusun kalimat, seorang arkeolog  harus menemukan benang merahnya dengan baik,” (Hal 3). Ya, seorang arkeolog adalah seseorang yang seharusnya mampu memecahkan suatu masalah. Seperti cerita yang masih diyakini akan kebenarannya hingga kini bahwa bayi-bayi di masa orang Balada di Pulau Nias dimakan oleh roh jahat.
“Menurutku yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka, bukan roh jahat. Sekarang bayangkan, bagaimana sebuah keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuanya masih menyusui dan melahirkan bayi? Untuk bertahan hidup, mau tidak mau yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun atau dihanyutkan di sungai. Si orang tua kemudian berteriak histeris. Lalu mereka membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh rih jahat. Tidak ada yang meragukan cerita itu. tidak ada orang yang menyalahkan orang tua bayi yang malang itu.” (Hal 21), pendapat yang terlontar dari mulut Hendra saat diminta Ama Budi tak ayal membuat tubuh Sayani bagai disambar petir di siang bolong. Ia tidak benar-benar percaya. Tetapi setelah ia mendengar penuturan Ayahnya akan kebenaran itu.  “Sebenarnya hal itu yang ingin aku ceritakan kepada Sayani, tapi lidahku terasa sangat kaku karena kebohongan yang selalu kupendam di sini. Aku pun pernah melakukannya, aku pernah membunuh bayiku sendiri ketika kami masih sering bermukim di ladang. Itu anak kedua kami, bahkan kami belum sempat member nama.” (Hal 22)
Kepada Ama Budi kepingan-kepingan masa lalu akan nasib seorang perempuan yang sangat dicintainya menyeruak kembali. Dua tahun berada diantara orang-orang yang masih memegang kuat adat istiadat dengan sejarah nenek moyangnya yang kental. Tak membuatnya serta merta mengubur masa lalunya yang kelam. Perkenalan yang manis dengan perempuan Banuaha, Saita yang berujung pada perpisahan yang menyakitkan. Perpisahan yang memilukan di pulau Nias membawanya kembali pulang.  “Kamu harus kembali ke langitmu, bukan langitku.” (Hal 186)
Ia rindu Jogjya. Ia rindu hiruk pikuk berada di kampus. Ia rindu Yasmin. *


2 komentar: