Kamis, 03 April 2014

Hadiah untuk Emak

Telah kutunaikan janjiku kepada Emak untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga di Jakarta. Menggendong cucu tersayangnya Kafi yang usianya sudah genap 4 tahun. Bahagia Emak seolah membayang dipelupuk mataku. Nyaris saja, namun seketika pudar saat aku membuka dompet beluduruku.

“Aku cuma punya selembar seratus ribu.” Lirihku dalam hati. Ya, Aku hanya mengantongi uang selembar seratus ribu-an saja. Rencananya uang itu akan kugunakan untuk perjalanan pergi dan pulang lagi ke Serang. Dengan berbekal niat dan tekad yang kuat, Insya Allah perjalanan ini akan berakhir bahagia. Padahal di dalam hatiku seringkali dirundung kegundahan dan kegelisahan akan keberangkatan ini. Terlebih karena Emak masih mengeluh kepalanya sakit.

“Ya Allah lindungi perjalanan kami, dan jagalah Emak di saat aku tidak lagi melihatnya.” Pintaku seusai shalat shubuh. Aku menengadahkan kedua tanganku lebih erat. Tak sengaja setitik air bening mengalir halus di pipiku. Aku tergugu di atas sejadah.

Langit masih diselimuti awan hitam. Udara dingin mulai menyergapku. Kokok ayam jantan sudah berlalu bersamaan dengan suara parau dizikir dari samping masjid sebelah rumahku. Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku bergegas mengeluarkan dua kardus dari dalam rumah dan kuletakkan ke atas meja kayu.

Aku mengayunkan kedua kaki menuju kamar Emak. Hatiku masih gelisah. Kubuka gorden hijau yang menggantung kokoh di atas kayu. Pelan-pelan aku masuk ke dalam.

“Nggak apa-apa ya kita naik kereta, Mak?” Aku membuka percakapan. Emak

mengangguk pelan. Ia masih membenahi pakaiannya. “Udah minum obat kan, Mak.” Tanyaku lagi memastikan.

“Iya, Alhamdulillah sudah.” Jawab Emak singkat.

“Gimana dengan sakit kepalanya, Mak. Apakah pagi ini kerasa lagi? Kalau masih kerasa sakit, kita tunda sampai lusa keberangkatannya, ya. Gimana?”

“Insya Allah, Nong. Ini sudah mendingan, kok.” Kata Emak sambil menyunggingkan senyuman. Meskipun aku tidak merasakan bagaimana keadaan Emak sesungguhnya namun lewat senyumnya mampu meredakan segala kegelisahan dan kegundahan yang kurasakan saat itu.

Pagi kian menyingsing, suara riuh segerombolan anak-anak berseragam merah putih dan biru datang dari arah mesin roda dua yang membawaku dan Emak ke stasiun. Salah satu dari mereka melemparkan senyuman kepadaku. Aku hanya mengangguk sambil melukis dua lesung dipipi. Mesin roda dua yang kami tumpangi kian melaju memacu kecepatanya. Menyibak jalan perkampungan yang sudah menggeliat dengan berbagai rutinitas masing-masing.

Tepat pukul 06.55 WIB ular besi jurusan angke tiba di stasiun Taman Sari. Aku terpaksa berlari kecil ke tempat pembelian tiket KA. Aku menyerahkan selembar sepuluh ribuan dan selembar dua ribuan. Tiga tiket sudah berpindah di tanganku. Segera aku menghampiri Emak dan adikku yang sudah menungguku di pintu masuk stasiun. Dan dengan cekatan aku meraih gagang pintu besi KA. Kemudian Emak dan disusul adikku.

Aku mengedarkan pandangan ke jejeran kursi abu-abu panjang yang terbagi menjadi dua bagian. Beberapa bangku dekat pintu gerbong sudah terisi penumpang. Aku melangkah maju ke tengah gerbong. Langkahku terhenti saat sebuah kursi di seberang sebelah kanan belum ada yang menempati. Kami bergegas menempatinya sebelum diambil alih oleh orang lain.

“Muat tiga orang nih, Mak.” Kataku pada Emak.

“Iya, asyik lagi deket jendela.” Adikku ikut menimpali.

 Bunyi peluit panjang mengangkasa ke udara. Gesekan antar roda dengan rel kian terasa di bawah kaki saat ular besi pelan-pelan beranjak dari stasiun. Menggilas rel. Mengikuti alurnya yang panjang. Kami duduk dibangku deretan kursi ke tiga dari pintu gerbong. Sesekali aku melempar pandang ke berbagai penjuru mata angin. Sekedar untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Dan ketika kedua bola mataku melirik ke sebelah kiri, aku mendapati Emak tengah melengkungkan dua garis dibibirnya. Kebahagiaan begitu terpancar di wajahnya. Sayang aku tidak mengabadikanya sebagai moment terindah kita jalan pertama menggunakan transportasi KA ya Mak.

Aku kembali terenyuh olehmu, Mak. Terlebih dengan kemampuanmu memijat, yang kamu dapatkan turun temurun dari nenek, yang kemudian dijadikan sebagai mata pencaharianmu untuk menyambung hidup kami. Namun, ketika sakit kepala itu datang dan tak kunjung mereda, Emak harus menghentikan memijatnya untuk sementara waktu.

“Allah masih sayang sama Emak. Buktinya Emak disuruh istirahat,” kataku suatu hari di ruang tamu. Emak yang sedang berbaring di kursi sebenarnya tahu kalau aku sedang memberi dukungan kepadanya agar ia tetap tegar dalam menghadapi cobaan ini.

“Lihat hamparan padi-padi yang sedang menguning di sana, Mak.”  Aku memecahkan keheningan di dalam kereta. Aku pegang tangan Emak pelan sembari menyelipkan permintaan maaf dalam hati. “Maafkan aku, Mak. Aku tidak memberikan kendaraan yang terbaik untukmu. Insya Allah, kelak aku akan memberikan yang lebih baik dari ini. Doakan aku ya, Mak.” Harapku.(*)


4 komentar:

  1. kereeen anak yang berbakti nih,
    jangan lupa yah janjinya sama emak
    beliiin kendaraan. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehee, bisa aja kak Rudi. Insya Allah, doakan ya :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terima kasih sudah menyempatkan singgah dan membaca tulisan di blogku mas. Alhamdulillah jika memang itu memotivasi dan menginspirasi.

      Hapus