Telah kutunaikan janjiku
kepada Emak untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga di Jakarta. Menggendong
cucu tersayangnya Kafi yang usianya sudah genap 4 tahun. Bahagia Emak seolah
membayang dipelupuk mataku. Nyaris saja, namun seketika pudar saat aku membuka
dompet beluduruku.
“Aku cuma punya selembar
seratus ribu.” Lirihku dalam hati. Ya, Aku hanya mengantongi uang selembar
seratus ribu-an saja. Rencananya uang itu akan kugunakan untuk perjalanan pergi
dan pulang lagi ke Serang. Dengan berbekal niat dan tekad yang kuat, Insya Allah
perjalanan ini akan berakhir bahagia. Padahal di dalam hatiku seringkali
dirundung kegundahan dan kegelisahan akan keberangkatan ini. Terlebih karena
Emak masih mengeluh kepalanya sakit.
“Ya Allah lindungi
perjalanan kami, dan jagalah Emak di saat aku tidak lagi melihatnya.” Pintaku
seusai shalat shubuh. Aku menengadahkan kedua tanganku lebih erat. Tak sengaja
setitik air bening mengalir halus di pipiku. Aku tergugu di atas sejadah.
Langit masih diselimuti
awan hitam. Udara dingin mulai menyergapku. Kokok ayam jantan sudah berlalu
bersamaan dengan suara parau dizikir dari samping masjid sebelah rumahku. Jam
dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku bergegas
mengeluarkan dua kardus dari dalam rumah dan kuletakkan ke atas meja kayu.
Aku mengayunkan kedua
kaki menuju kamar Emak. Hatiku masih gelisah. Kubuka gorden hijau yang
menggantung kokoh di atas kayu. Pelan-pelan aku masuk ke dalam.
“Nggak apa-apa ya kita
naik kereta, Mak?” Aku membuka percakapan. Emak
mengangguk pelan. Ia masih
membenahi pakaiannya. “Udah minum obat kan, Mak.” Tanyaku lagi memastikan.
“Iya, Alhamdulillah
sudah.” Jawab Emak singkat.
“Gimana dengan sakit
kepalanya, Mak. Apakah pagi ini kerasa lagi? Kalau masih kerasa sakit, kita
tunda sampai lusa keberangkatannya, ya. Gimana?”
“Insya Allah, Nong. Ini
sudah mendingan, kok.” Kata Emak sambil menyunggingkan senyuman. Meskipun aku
tidak merasakan bagaimana keadaan Emak sesungguhnya namun lewat senyumnya mampu
meredakan segala kegelisahan dan kegundahan yang kurasakan saat itu.
Pagi kian menyingsing,
suara riuh segerombolan anak-anak berseragam merah putih dan biru datang dari
arah mesin roda dua yang membawaku dan Emak ke stasiun. Salah satu dari mereka
melemparkan senyuman kepadaku. Aku hanya mengangguk sambil melukis dua lesung
dipipi. Mesin roda dua yang kami tumpangi kian melaju memacu kecepatanya.
Menyibak jalan perkampungan yang sudah menggeliat dengan berbagai rutinitas
masing-masing.
Tepat pukul 06.55 WIB
ular besi jurusan angke tiba di stasiun Taman Sari. Aku terpaksa berlari kecil
ke tempat pembelian tiket KA. Aku menyerahkan selembar sepuluh ribuan dan
selembar dua ribuan. Tiga tiket sudah berpindah di tanganku. Segera aku
menghampiri Emak dan adikku yang sudah menungguku di pintu masuk stasiun. Dan
dengan cekatan aku meraih gagang pintu besi KA. Kemudian Emak dan disusul
adikku.
Aku mengedarkan pandangan
ke jejeran kursi abu-abu panjang yang terbagi menjadi dua bagian. Beberapa
bangku dekat pintu gerbong sudah terisi penumpang. Aku melangkah maju ke tengah
gerbong. Langkahku terhenti saat sebuah kursi di seberang sebelah kanan belum
ada yang menempati. Kami bergegas menempatinya sebelum diambil alih oleh orang
lain.
“Muat tiga orang nih,
Mak.” Kataku pada Emak.
“Iya, asyik lagi deket
jendela.” Adikku ikut menimpali.
Bunyi peluit
panjang mengangkasa ke udara. Gesekan antar roda dengan rel kian terasa di
bawah kaki saat ular besi pelan-pelan beranjak dari stasiun. Menggilas rel.
Mengikuti alurnya yang panjang. Kami duduk dibangku deretan kursi ke tiga dari
pintu gerbong. Sesekali aku melempar pandang ke berbagai penjuru mata angin.
Sekedar untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Dan ketika kedua bola
mataku melirik ke sebelah kiri, aku mendapati Emak tengah melengkungkan dua
garis dibibirnya. Kebahagiaan begitu terpancar di wajahnya. Sayang aku tidak
mengabadikanya sebagai moment terindah kita jalan pertama menggunakan
transportasi KA ya Mak.
Aku kembali terenyuh
olehmu, Mak. Terlebih dengan kemampuanmu memijat, yang kamu dapatkan turun
temurun dari nenek, yang kemudian dijadikan sebagai mata pencaharianmu untuk
menyambung hidup kami. Namun, ketika sakit kepala itu datang dan tak kunjung
mereda, Emak harus menghentikan memijatnya untuk sementara waktu.
“Allah masih sayang sama
Emak. Buktinya Emak disuruh istirahat,” kataku suatu hari di ruang tamu. Emak
yang sedang berbaring di kursi sebenarnya tahu kalau aku sedang memberi
dukungan kepadanya agar ia tetap tegar dalam menghadapi cobaan ini.
“Lihat hamparan padi-padi
yang sedang menguning di sana, Mak.” Aku memecahkan keheningan di dalam
kereta. Aku pegang tangan Emak pelan sembari menyelipkan permintaan maaf dalam
hati. “Maafkan aku, Mak. Aku tidak memberikan kendaraan yang terbaik untukmu.
Insya Allah, kelak aku akan memberikan yang lebih baik dari ini. Doakan aku ya,
Mak.” Harapku.(*)
kereeen anak yang berbakti nih,
BalasHapusjangan lupa yah janjinya sama emak
beliiin kendaraan. hehehe
hehee, bisa aja kak Rudi. Insya Allah, doakan ya :)
Hapustulisan yang bagus,
BalasHapusmenginspirasi
memotivasi
Terima kasih sudah menyempatkan singgah dan membaca tulisan di blogku mas. Alhamdulillah jika memang itu memotivasi dan menginspirasi.
Hapus