Selasa, 10 Maret 2015

Separuh Usiaku untuk Berliterasi


          Sepagi itu hujan mengguyur Kota Serang. Namun hal itu tak mengubah rencana perjalananku untuk berangkat ke Jakarta. Meski sudah berulang kali menginjakkan kaki ke Senayan, tetapi kali ini, saya baru pertama kali ikut memestakan acara besar yang hanya bisa ditemui sekali dalam setahun yakni Islamic Book Fair 2015.
Kereta api jurusan patas Merak-Jakarta membawaku serta rombongan Rumah Dunia. Tepat pukul 06.55 WIB bunyi peluit panjang mengangkasa ke udara. Menembus pekatnya awan hitam. Meninggalkan stasiun Taman Sari, Serang. Suara derit gerbong dan roda yang menggilas besi semakin memantapkan niatku untuk menghabiskan weekend bersama teman-teman untuk berburu buku dan sekaligus mencari ilmu di Islamic Book Fair 2015. Salah satunya menghadiri bedah buku ‘Pasukan Matahari’ karya Gol A Gong.
Suara riuh pedagang berbagai makanan dan pengamen tak lagi kujumpai di dalam gerbong. Aku hanya mendapati wajah-wajah kegelisahan pada beberapa orang yang lalu lalang di depanku. Sekilas mereka seperti tengah dilanda ketakutan. Itu tampak jelas sekali terlihat dari gelagat mereka yang sesekali melempar pandang ke pintu gerbong.
Peristiwa itu berlangsung cukup lama. Hingga bangku memanjang layaknya di sebuah angkutan kota (angkot) kosong. Dan beberapa penumpang yang duduk diubin gerbong beringsut pindah. Adegan demi adegan di depan mataku tak ayal membuat hatiku ngilu dan iba. Tetapi, peraturan tetap peraturan. Mereka hanya rakyat kecil yang telah terbiasa mencari rupiah pada penumpang kereta api ekonomi.
Segera kusingkirkan perasaan yang menggelayuti hatiku. Memikirkan hal-hal yang pelik selama berada di dalam gerbong kereta membuatku ingin cepat keluar. Meski tawa terkadang pecah. Namun tak dapat kupungkiri bahwa akupun merasakan apa yang mereka tengah rasakan.
Selamat datang di Jakarta. Seruku dalam hati.  
Ya, akhirnya saya tiba di stasiun Pal Merah setelah 3 jam lamanya berada di dalam gerbong kereta.  Rupanya hujan yang mengguyur Serang telah membawa cuaca lain di Jakarta. Sehingga keputusan untuk menempuh Senayan dengan berjalan kaki pun seolah disambut baik oleh alam.
Hiruk pikuk kota Jakarta kian kentara saat kedua kaki saya memasuki gerbang Gelora Bung Karno (GBK). Salah satu kegiatan yang menarik perhatianku adalah sebuah kemunitas sepatu roda. Tua, muda jadi satu. Sepertinya usia bukan lagi batasan bagi mereka untuk menekuni dunia apapun. Sekalipun mereka disejajarkan dengan anak-anak di bawah umur.
Lalu pikiranku melambung jauh pada pilihanku yang tak sampai hati jika harus murtad. Seperti hari ini, meski seharian menempuh perjalanan ke Jakarta menggunakan kereta api guna merayakan pesta buku-buku islam di Senayan. Tak ada kata penyesalan atas tindakan yang kuambil. Seperti juga jalan hidup yang mengarahkanku pada dunia litearsi. Spirit literasi yang telah tertanam sejak usiaku 8 tahun karena bergabung di Rumah Dunia bagai mendarah daging di sumsumku. Mengalir di darahku. Kini, diusiaku yang ke-22 tahun masih saja kunikmati berjibaku dengan dunia literasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar