Untuk memperkuat
pendapatku pada novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya maka kubaca sekali
lagi. Aku cermati setiap alur ceritanya. Bahkan sesekali aku akan mengulangi
setiap kalimat yang dibangun penulisnya dengan seksama. Agar aku dapat menangkap
maksud ceritanya.
Membaca novel
etnografis yang diterbitkan oleh Kompas
setebal 207 halaman bercerita tentang manusia langit pada suku Banuaha
di pulau Nias tak ubahnya sedang membuka buku sejarah. Meski si penulis meracik
isinya dengan membumbuhkan alur cerita yang bergaya fiksi namun tetap saja ia
tidak menghilangkan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Betapa tidak ia ingin mengajak
si pembaca untuk mengingatkan kembali kehidupan di masa prasejarah. Masa dimana
keberlangsungan hidup manusia kala itu hanya melakukan berburu dan berladang
(hal 33). Manakala tempat peburuannya telah habis maka mereka akan berpindah
tempat. Sehingga tempat tinggal mereka tidak pernah nomaden.
Kemunculan tokoh
perempuan Arab yang berparas cantik pada bagian prolog oleh si penulis bukan
tak ada maksud sepertinya. Justru menjadi kekuatan yang mampu menarik si
pembaca agar penasaran. Rasa penasaran yang datang begitu saja membuat si
pembaca tak rela jika tak menuntaskan bacaannya.
Lalu si pembaca
digelayuti pada berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu berdesakan dalam
pikiran si pembaca. Seperti siapakah perempuan yang berulang kali menitikkan
air mata itu? Mengapa ia menitikan air mata setelah membaca buku itu? Buku apa
sebenarnya yang dibaca oleh perempuan itu? Lalu apa hubungannya periuk dan bayi
dengannya? Siapakah anak yang sedang terlelap di sampingnya? Semua pertanyaan
ini akan satu persatu terjawab usai kita membacanya.
Tokoh utama dalam
novel ini adalah Mahendra. Seorang dosen arkeolog muda yang terkenal gila kerja
diantara teman-temannya (hal 50). Kehidupannya hanya didedikasikan untuk
belajar dan bekerja (hal 55). Tetapi, pendirian Hendra berubah seketika setelah
mengenal Yasmin salah satu mahasiswinya.
Berawal dari
diskusi kecil di kantin kampus. Lalu merambah ke tempat biliar di Cineta Jogya.
Mereka yang selalu bersama-sama membuat kebersamaan yang berlangsung lama itu
menumbuhkan benih-benih cinta. Ini dipertegas Hendra (hal 51), “Yasmin, setelah
setahun kita sering bersama dan bicara, apakah itu tidak berarti buat Yasmin?
Apakah Yasmin tidak menyadari bahwa kita saling suka?”
Pergolakan hati
dan batin yang dirasakan Hendra semakin mengakar hingga ia mengukuhkan niatnya untuk
melamar Yasmin segera. Sayang, rencana Hendra tidak disambut baik oleh kedua
orang tua Yasmin. Hingga kejadian yang sama sekali tidak diinginkan Hendra terjadi.
Yasmin mengandung. Itu ditegaskan oleh sms Yasmin sebelum dia benar-benar
menghilang bagai ditelan bumi.
‘Mas, aq skrg lg ngandung anak qt. Aq tdk mau
ganggu hidup Mas yang sdh bgt mapan. Jd,
utk yg 1 ini biar aq yg nanggung sendiri. Tlg jgn cari aq’ (Hal 62).
Selang dua bulan
Hendra mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Penemuan mayat perempuan yang
diduga seorang mahasiswa terbujur kaku di sebuah kamar hotel di pusat kota
Yogya. Hendra meyakini bahwa perempuan itu adalah Yasmin. Hatinya hancur. Ia
patah hati. Hingga tak ayal ia dihinggapi rasa bersalah yang mendalam.
Yasmin dan kampus adalah
sederet kenangan indah di kota pelajar yang terpaksa ditinggalkan Hendra. Bukan
karena bosan, melainkan Hendra merasa ia tidak pantas hidup di universitas yang
berisi orang-orang terhormat (hal 65). Kejadian yang telah memukulnya keras itulah
kemudian mendamparkannya di dunia yang masih terisolasi.
Penemuan periuk
bayi di ladang milik Pak Mbowo Laiya yang tengah diteliti oleh Hendra ternyata menguak
cerita silam orang Belada yang telah lama
punah. Dan masa lalu Hendra yang memilukan. Juga seorang anak suku Banuaha,
Sayani.
“Ibarat sedang menyusun kalimat, seorang
arkeolog harus menemukan benang merahnya
dengan baik,” (Hal 3). Ya, seorang arkeolog adalah seseorang yang seharusnya
mampu memecahkan suatu masalah. Seperti cerita yang masih diyakini akan
kebenarannya hingga kini bahwa bayi-bayi di masa orang Balada di Pulau Nias dimakan oleh roh jahat.
“Menurutku yang
membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka, bukan roh jahat. Sekarang
bayangkan, bagaimana sebuah keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah,
sementara perempuanya masih menyusui dan melahirkan bayi? Untuk bertahan hidup,
mau tidak mau yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun
atau dihanyutkan di sungai. Si orang tua kemudian berteriak histeris. Lalu
mereka membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh rih jahat. Tidak ada yang
meragukan cerita itu. tidak ada orang yang menyalahkan orang tua bayi yang
malang itu.” (Hal 21), pendapat yang terlontar dari mulut Hendra saat diminta
Ama Budi tak ayal membuat tubuh Sayani bagai disambar petir di siang bolong. Ia
tidak benar-benar percaya. Tetapi setelah ia mendengar penuturan Ayahnya akan
kebenaran itu. “Sebenarnya hal itu yang
ingin aku ceritakan kepada Sayani, tapi lidahku terasa sangat kaku karena
kebohongan yang selalu kupendam di sini. Aku pun pernah melakukannya, aku
pernah membunuh bayiku sendiri ketika kami masih sering bermukim di ladang. Itu
anak kedua kami, bahkan kami belum sempat member nama.” (Hal 22)
Kepada Ama Budi
kepingan-kepingan masa lalu akan nasib seorang perempuan yang sangat
dicintainya menyeruak kembali. Dua tahun berada diantara orang-orang yang masih
memegang kuat adat istiadat dengan sejarah nenek moyangnya yang kental. Tak
membuatnya serta merta mengubur masa lalunya yang kelam. Perkenalan yang manis dengan
perempuan Banuaha, Saita yang berujung pada perpisahan yang menyakitkan.
Perpisahan yang memilukan di pulau Nias membawanya kembali pulang. “Kamu harus kembali ke langitmu, bukan
langitku.” (Hal 186)
Ia rindu Jogjya.
Ia rindu hiruk pikuk berada di kampus. Ia rindu Yasmin. *
keren bingit tulisannya! hehehe...
BalasHapushehehe... alhamdulillah. makasih kakak
Hapus