Istana Mainan
Masih terekam jelas bayangan
masa kecilku sebelum tergabung di Rumah Dunia. Keseharianku hanya diisi dengan
banyak bermain. Istana sampah menjadi tempat favorit aku dan teman-temanku
untuk berburu harta karun. Harta karun yang akan kami jadikan sebuah mainan. Meskipun
sekedar berebut lembaran-lembaran plastik bekas makanan, atau bila beruntung
aku bisa menemukan mainan yang masih layak pakai. Aku dan teman-temanku tetap bahagia.
Suatu hari, aku dan
teman-temanku mendapati gadis kecil yang sedang bermain di depan rumahnya.
Rambutnya sebahu dan agak ikal. Tapi dia cukup manis untuk anak seusia itu. Lalu
ditangan kanannya ia sedang memegang bonekanya erat. Mirip sekali dengan tokoh
kartun yang biasa kutonton di televisi.
Perkenalan yang
singkat itu membuat kami kian dekat. Bella sapaan untuk gadis kecil itu
kemudian mengajak kami untuk bermain dengannya. Tibalah kami di sebuah
pekarangan rumah belakang, Bella memasukkan barbie di dalam rumah-rumahan besar
yang bercat pink. Lalu dia menyuruh kami untuk mendekatinya. Kami sangat
terkejut sambil berdecak kagum saat menginjakkan kaki di pasir. Hamparan pasir
berisi mainan yang bertebaran dimana-mana. Inilah istana mainan sesungguhnya
teman-teman? Lirihku dalam hati.
Kami memang anak-anak
kampung yang belum pernah melihat langsung atau bahkan sampai memainkan mainan sebanyak
itu. Dan kami benar-benar dibuat gadis kecil itu nyaman. Karena dia membolehkan
kami untuk datang setiap hari dan bermain sesuka hati dengan mainan-mainan
miliknya.
Angin segar yang
berhembus akan keberadaan istana mainan rupanya memancing perhatian anak-anak
sekitar. Entah siapa yang menyebarkannya. Laki-laki dan perempuan bergerombol
mendatangi perkarangan. Mereka berdiri di depan pagar kayu yang tidak terkunci
dan saling pandang antar temannya. Tanpa mengeluarkan aba-aba lagi Bella
bangkit dari tempat bermainnya dan mengajak mereka masuk ke dalam.
Setiap hari selepas
pulang Sekolah Agama atau selepas shalat ashar kami bermain di istana mainan
hingga senja. Lambat laun mainan itu kian habis. Entah diambil siapa.
Barangkali memang ada beberapa anak yang ingin memainkannya lebih lama lagi.
Sehingga dia membawanya pulang. Istana mainan itu sudah tidak ada lagi dan kami
kebingungan.
Istana
Buku
Mainan-mainan yang
biasa berserakan di atas pasir kini tidak tampak lagi. Yang ada hanya serak buku
bacaan di gigir tembok. Meski pada awalnya kami ragu untuk membaca buku-buku di
rak itu. karena penyebabnya adalah kami tidak terbiasa membaca buku selain buku
pelajaran. Terlebih mempunyai buku-buku cerita. Namun, ketika seorang perempuan
yang mengenakan baju kodok keluar bersamaan dengan Bella dari balik pintu besi,
ia mengajakku dan teman-temanku untuk mendengarkannya mendongeng. Seketika
keragu-raguan itu hilang. Hasrat untuk
membaca buku mengembara. Usai mendongeng, kami berebut buku di rak yang
dibiarkan menyandar di tembok.
Membaca buku cerita ternyata mengasyikkan. Tak
hanya aku yang mengatakan demikian. Anak-anak yang lain pun mengatakan hal yang
sama. Terlebih karena di dalam buku cerita itu terdapat gambar-gambar yang lucu
dan cantik.
Waktu terus bergulir
dengan cepat, hingga tidak terasa serak buku itu telah disulap menjadi sebuah
istana buku. Buku-buku cerita semakin banyak, dan kami tidak lagi saling
berebut buku yang sama untuk membacanya. Lalu kemudian beberapa kegiatan
diselenggarakan setiap hari. Mulai dari kelas menggambar, mengarang, membuat
puisi, menyanyi dan teater.
Kegiatan reguler
Rumah Dunia telah menyita waktu bermainku. Ya, kami tidak lagi menghabiskan
waktu setengah hari untuk bermain. Kami lebih suka menghabiskan waktu untuk
membaca atau mengasah kemampuan yang ternyata kami punyai. Tetapi, bukan
berarti meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar yakni sekolah dan belajar. Kesukaan
inilah yang kemudian membuatku belajar untuk lebih bijaksana dalam membagi
waktu. Sehingga kegiatan di sekolah,
rumah dan Rumah Dunia terbagi rata.
Rumah Dunia tak
ubahnya sebuah istana bagiku dan teman-temanku. Istana yang menyimpan banyak
mimpi. Mimpi yang harus kami raih. Karena mimpi bukan lagi milik mereka
orang-orang kaya saja. Tetapi, kami anak-anak kampung pun juga sama mempunyai
mimpi.
Bukan menjadi alasan
jika ekonomi pada setiap anak di Rumah Dunia lemah, ya hal ini tidak menjadikan
kami semakin terpuruk. Oleh karenanya, kami tak segan untuk terus meningkatkan
kemampuan pada setiap pertemuan di kegiatan reguler Rumah Dunia. Kami yakin bahwa Rumah Dunia adalah tempat
yang tepat untuk kami mengembangkan bakat dan menemukan keinginan kita. Kini, Rumah
Dunia telah menciptakan suasana baru di kampungku.
“Buku adalah jendela dunia. Jadi, jika kalian
ingin tahu banyak hal tentang seluruh jagat raya ini, maka membacalah,” kata Enek
mengakhiri dongengnya di pendopo.
Kini, berkat membaca
aku berani bermimpi dan kini mimpi itu sedang aku rajut lewat Rumah Dunia.
Dipersembahkan
untuk HUT RD ke-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar