Siang itu matahari begitu terik. Kulit tangan hingga pori-pori
kepalaku terasa seperti terbakar. Sesekali aku menyeka keringat yang membanjiri
kening dan hidungku. Entah mengapa dadaku bergolak ketika ban roda dua
menggilas jalan raya Cijawa. Dalam hati aku membatin mengapa di sepanjang jalan
raya Cijawa pohon-pohonnya harus ditebangi. Padahal pohon-pohon yang berjejer
di sepanjang bibir jalan raya itu sangat bermanfaat. Sekedar untuk melepas
penat dan berteduh kala hujan datang tak terduga. Ya, pohon-pohon itu akan
menjadi payung alam bagi pejalan dan pengayuh roda dua seperti aku ini.
Proyek pelebaran jalan yang sudah berjalan beberapa bulan belum
juga kunjung selesai. Setelah Kebon Jahe dan Cijawa Masjid ditanami beton-beton
menggantikan pepohonan. Takkan lama lagi pohon-pohon yang bejejer di bibir
jalan Sekolah Menengah Kejuruan 1 dan 2 pun juga akan ditumbangkan. Beton-beton
tertancap dan mengakar di tanah. Tidak ada akar pohon. Tidak ada penyerapan.
Apa jadinya jika pepohonan tak ada satupun yang berdiri kokoh di
sana. Bukankah akar pepohonan dapat membantu proses penyerapan air. Bila tak
ada pepohonan bukan tak mungkin jika hujan mengguyur maka banjir akan melumat
aspal jalanan. Lalu siapa yang akan dirugikan. Kalau bukan kita si pengguna
jalan kecil ini.
Perasaan yang kian berkecamuk dalam dada dan hati segera
kusingkirkan. Aku tak mau bila terus menerus diliputi prasangka yang
bukan-bukan, terlebih memandang arti sebuah kedudukan. Bagiku yang kuat hanya
milik mereka yang berkuasa. Aku hanya satu diantara banyak masyarakat yang
tidak memiliki kuasa penuh untuk mengubah apapun. Terlebih menata panggung
kehidupan negeri ini.
Kehidupan yang sedang kujalani sudah rumit sekaligus pelik.
Mengapa aku mesti menjejalinya lagi dengan hal-hal seperti itu. Lebih baik aku
memikirkan cara agar aku dapat mengeluarkan adik-adikku dari jerat kemiskinan.
Bukan miskin harta. Bukan. Tapi miskin percaya diri.
Sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara, hanya aku yang
melanjutkan sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dan itu tidak mudah
memang. Aku harus bergulat dengan berbagai argumentasi mulai dari pergolakan
dalam keluarga hingga semua yang berada dalam tubuhku. Semuanya saling
berdesakkan di kepalaku. Klimaknya aku meledakkannya dengan menyerahkan kepada
sang Murabi.
Aku tak pernah menyesal terlahir dari rahim seorang perempuan yang
mengandalkan tenaganya sebagai tukang pijat. Lalu Bapak yang ketika masih muda
dan kuat menyandang profesi sebagai pedagang ikan di pasar tradisional. Dari
merekalah aku banyak belajar bagaimana menyikapi dan memaknai sebuah kehidupan.
Dan dari mereka jualah aku banyak bercermin bagaimana sikap yang diambil saat kemiskinan itu terus menyelimuti. Aku
mematahkannya lewat membaca buku. Buku-buku yang kubaca nyatanya memang kian memantapkanku
dalam memandang masa depan.
Kini diusiaku yang telah menginjak 22 tahun, aku sedang
berusaha melawan kemiskinan. Tak hanya kemiskinan materi yang menghadangku
tetapi ilmu dalam keluargaku. Demi sekolah, aku melakukan apapun. Asal tidak
menjual diri. Aku akan menuntut ilmu setinggi mungkin. Dan sebagai mahasiswa
tingkat akhir kewajibanku hanya satu yakni mensegerakan kelulusan. Lalu
menunaikan ikrar batin dan hati yang begitu mendamba untuk merantau.*
beugh... mau merantau ke mana???
BalasHapus