Dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir mata kuliah English for Toursm, Universitas Banten
Jaya melakukan perjalanan ke Jawa Tengah, Sabtu (04/05) sampai Senin (06/05).
Tempat yang akan kami singgahi adalah beberapa tempat wisata yang sangat
menarik tentunya.
Matahari
rebah kepelukan sang timur. Saat kendaraan yang ditumpangi rombonganku
menggilas jalanan utama menuju Malioboro, yang sudah mulai menampakkan
kehidupannya ketika malam menjelang. Kerlap kerlip lampu jalanannya bertebaran
tak ubahnya kunang-kunang di pedesaan. Menyapa kedatangan kami di tempat yang
biasa dijadikan ikon kota Jogjakarta.
“Wah
bagaimana ini, jalanannya macet sekali.” Kata Pak Jarwo tour
guide rombongan
kami mengeluhkan.
Aku
tertunduk lesu mendengar ucapan yang meluncur dari mulut Pak Jarwo barusan.
Jujur dalam hati, aku sangat kecewa dengan situasi ini. Bagaimana tidak, saat
kaki ini sudah gatal ingin segera bercumbu dan menikmati malam dengan hiruk
pikuk kendaraan yang bertaburan bagai laron, tiba-tiba mendapati situasi yang
tidak diingini.
“Tapi,
kita masih bisa memutar melewati Taman Bacaan Ceria. Meskipun jaraknya tidak
sedekat dengan jalan yang tadi, soalnya kita harus jalan dulu untuk sampai di
sana.” Terangnya sekali lagi.
Penjelasan
Pak Sujarwo seketika membuat wajahku kembali berseri. Dan mampu mengobati rasa
kekecewanku. Setidaknya itu adalah jalan keluar yang masuk diakal bukan. Karena
hal itu sungguh di luar kekuasaan manusia, ketika lautan kendaraan membanjiri
jalanan utama menuju Malioboro. Maka segeralah mengambil tindakan dengan
mengganti route untuk bisa sampai ke tempat
yang dituju. Itulah tugas seorang Tour Guide sesungguhnya.
Jam
tangan dipergelangan tanganku telah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Tetapi suasana
hiruk pikuk lautan manusia malah semakin menjadi-jadi. Apakah karena ini malam
minggu, sehingga suasananya berbeda dengan malam-malam lainnya. Entahlah.
Di
sepanjang perjalanan menuju Malioboro mataku disuguhkan dengan berbagai
bangunan-bangunan tua namun unik dan menarik. Apalagi saat cahaya lampu jatuh
mengenainya dilengkapi dengan rerimbunan pepohonan rindang melukis bayangan
kesempurnaan. Indah sekali.
Para
pedagang yang berjejer di bibir jalan pun seolah tidak ingin ketinggalan moment
penting ini, untuk mengais rupiah demi rupiah.. Mereka tidak perduli dengan
para pedagang lainnya. Karena ketika berbicara soal rizki Tuhanlah yang
berkuasa di sini. Mereka menggelar daganganya mulai dari pakaian dan
souvenir khas jogja, pernak-pernik gelang dan cincin, dan masih banyak lagi.
“Inikah
jalan Malioboro yang terkenal itu,” lirihku dalam hati saat kedua bola mataku
saling berkejaran memotreti setiap lekuk tubuh Malioboro yang ramai dengan
lautan manusia. Dengan segudang kreativitas yang bebas dituangkan oleh
siapapun.
Langkah
kedua kakiku mendadak terhenti. Ketika sebuah pertunjukan seni serupa dengan
teater di kellilingi banyak orang. Sepertinya mereka terbentuk dari sekelompok
atau komunitas penyuka seni. Mereka mampu menarik perhatianku untuk
menyaksikannya. Mereka mengenakan kostum ala ‘halloween’ dengan memadupadankan dengan
karakternya masing-masing. Sehingga pertunjukan yang mereka tampilkan membuatku
inginku untuk segera mengabadikannya lewat jepretan kamera digital. Bahkan
seolah-olah membiusku untuk berlama-lama berada di sana.
“Ayo,
Uni?” Panggil seseorang dari balik kerumunan orang-orang. Ia datang
menghampiriku dan langsung menggapit tanganku kananku. Aku berjalan
tertatih-tatih mensejajarkan langkah kakinya yang cepat.
“Buruan
atuh, ntar kita mencar lagi sama anak-anak yang lain.” Katanya sekali lagi
dengan nada setengah memperingati.
“Iya,
iya. Sabar atuh.” Ketusku. Aku kembali menyisir separuh perjalananku mengintari
Malioboro. Dengan sejuta kata yang menggunung di dada dan tak sempat kucurahkan
pada keeksotikan malam itu. Dalam langkah kakiku yang bernada, maka aku
sampaikan pada jalanan menghitam jika aku diperbolehkan menginjakkan kaki tuk
kembali, kuingin menyaksikan hal serupa dengan malam ini. Kota pelajar kukan merindumu.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar