Yaaah, Ma, mencintai kamu
adalah bahagia dan sedih
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan
(Ws. Rendra-Pamplet Cinta)
Aku tak
pernah menuntut apapun dari siapapun. Bahkan kepada kedua orang tuaku
sekalipun. Bagiku, menuntut berarti meminta. Dan setiap permintaan adalah
tanggung jawab yang harus dipenuhi. Dan menyekolahkan anak hingga ke jenjang
yang tinggi merupakan salah satu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.
Gelar bapakku
memang bukan berpangkat jenderal. Dan emak bukan ibu Negara yang baik pula
pendidikannya.
“Bapak
hanya tamatan SR, Nong. Tapi, bapak pernah mengajar di Sekolah Agama.” Kata
bapak suatu hari padaku. Aku tersenyum simpul bila mengingat cerita itu. Pertanda
bahwa aku pun turut bangga kepadanya. Meskipun dahulu SR (Sekolah Rakyat) adalah
sekolah setara SD. Namun, kemampuan yang dimiliki bapak hingga bisa menjadi
seorang pendidik patut kuapresiasi. Paling tidak, semangat mengajar yang sedang
kujalani ini juga pernah dilalui oleh bapakku.
Lain halnya
dengan emak. Emak memang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sama sekali. Jika
bapak bisa sampai sekolah setingkat SD tapi tidak untuk emak.
Suatu hari
emak bercerita padaku. Dia mengaku tak pernah menyesal jika kedua orang tuanya
tak sempat menyekolahkannya. Sehingga, haknya sebagai seorang anak pun tak
terpenuhi. Tak ada yang perlu disesali, sekalipun kedua orang tuanya telah meninggal lebih dulu. Dan emak dibesarkan oleh neneknya. Baginya,
pelajaran tidak melulu diperoleh dari sekolah. Tetapi, sesungguhnya pelajaran
itu bertebaran dimana-mana. Dan menjalani lika liku hidup merupakan bagian dari
proses dimana dia memperoleh pelajaran itu.
Memaknai
hidup memang tak semudah yang kubayangkan. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah
dua hal yang tak pernah dihadapi oleh siapapun. Tetapi, ketika kumendengar perjuangan
kedua orang tuaku tempo dulu. Aku pun belajar memaknai kehidupan itu dari sudut
pandang yang berbeda. Apalagi ungkapan emak yang menyentil tentang seorang
manusia.
“Jadi wong urip kuen lake enake. Uwis jadi
wong sugih masih kurang, ape maning sing masih miskin.” Ungkap emak.
Ya, kebahagiaan
seseorang di dunia yang dapat menjaminnya adalah manusia itu sendiri. Belum
tentu mereka yang hidup berkecukupan akan berlimpah kebahagiaan. Pun
sebaliknya.
Sentilan ini
kemudian menyentuh mata hati dan batinku. Akan sebuah kebahagiaan dan
ketidakbahagiaan. Emak dan bapak memang tidak memberikan harta berlimpah padaku.
Kucuran kebahagiaan yang mereka bagikan pada anak-anaknya terkadang tak
sebanding dengan kehidupan mereka dulu. Seperti pada bidang pendidikan, aku
menempuh dan memilih untuk meneruskan sekolah adalah caraku membahagiakan
mereka. Tak peduli aku terjatuh dan bangun lagi untuk mendapatkan pendidikan itu.
Kuyakini mereka mendoakanku. Dan mengharap yang baik-baik padaNya.
Dari emak
aku belajar memaknai bahwa ilmu dapat ditempuh dan didapatkan darimana saja. Kepiawaiannya
memasak dirasanya adalah hadiah terindah dari kedua orang tuanya kepadanya. Dan
keahlian memijat yang diturunkan dari neneknya menjadi penyempurna kemampuan
yang dimilikinya. Baginya, itu lebih daripada cukup untuk menebus
ketertinggalannya dalam pendidikan.
Dari bapak aku belajar bahwa
serendah apapun pendidikan yang ditempuh. Bukan berarti hidup yang nanti akan
dijalani terhenti. Roda kehidupan manusia akan berjalan sebagaimana mestinya
jika manusia itu mampu mengemudikanya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar