Sepagi itu hujan mengguyur Kota Serang. Namun hal itu tak
mengubah rencana perjalananku untuk berangkat ke Jakarta. Meski sudah berulang
kali menginjakkan kaki ke Senayan, tetapi kali ini, saya baru pertama kali ikut
memestakan acara besar yang hanya bisa ditemui sekali dalam setahun yakni Islamic Book Fair 2015.
Kereta
api jurusan patas Merak-Jakarta membawaku serta rombongan Rumah Dunia. Tepat
pukul 06.55 WIB bunyi peluit panjang mengangkasa ke udara. Menembus pekatnya
awan hitam. Meninggalkan stasiun Taman Sari, Serang. Suara derit gerbong dan
roda yang menggilas besi semakin memantapkan niatku untuk menghabiskan weekend bersama
teman-teman untuk berburu buku dan sekaligus mencari ilmu di Islamic Book Fair 2015. Salah satunya
menghadiri bedah buku ‘Pasukan Matahari’ karya Gol A Gong.
Suara
riuh pedagang berbagai makanan dan pengamen tak lagi kujumpai di dalam gerbong.
Aku hanya mendapati wajah-wajah kegelisahan pada beberapa orang yang lalu
lalang di depanku. Sekilas mereka seperti tengah dilanda ketakutan. Itu tampak
jelas sekali terlihat dari gelagat mereka yang sesekali melempar pandang ke
pintu gerbong.
Peristiwa
itu berlangsung cukup lama. Hingga bangku memanjang layaknya di sebuah angkutan
kota (angkot) kosong. Dan beberapa penumpang yang duduk diubin gerbong
beringsut pindah. Adegan demi adegan di depan mataku tak ayal membuat hatiku
ngilu dan iba. Tetapi, peraturan tetap peraturan. Mereka hanya rakyat kecil yang
telah terbiasa mencari rupiah pada penumpang kereta api ekonomi.
Segera
kusingkirkan perasaan yang menggelayuti hatiku. Memikirkan hal-hal yang pelik selama
berada di dalam gerbong kereta membuatku ingin cepat keluar. Meski tawa
terkadang pecah. Namun tak dapat kupungkiri bahwa akupun merasakan apa yang
mereka tengah rasakan.
Selamat
datang di Jakarta. Seruku dalam hati.
Ya,
akhirnya saya tiba di stasiun Pal Merah setelah 3 jam lamanya berada di dalam
gerbong kereta. Rupanya hujan yang
mengguyur Serang telah membawa cuaca lain di Jakarta. Sehingga keputusan untuk
menempuh Senayan dengan berjalan kaki pun seolah disambut baik oleh alam.
Hiruk
pikuk kota Jakarta kian kentara saat kedua kaki saya memasuki gerbang Gelora
Bung Karno (GBK). Salah satu kegiatan yang menarik perhatianku adalah sebuah
kemunitas sepatu roda. Tua, muda jadi satu. Sepertinya usia bukan lagi batasan bagi
mereka untuk menekuni dunia apapun. Sekalipun mereka disejajarkan dengan
anak-anak di bawah umur.
Lalu
pikiranku melambung jauh pada pilihanku yang tak sampai hati jika harus murtad.
Seperti hari ini, meski seharian menempuh perjalanan ke Jakarta menggunakan
kereta api guna merayakan pesta buku-buku islam di Senayan. Tak ada kata penyesalan
atas tindakan yang kuambil. Seperti juga jalan hidup yang mengarahkanku pada
dunia litearsi. Spirit literasi yang
telah tertanam sejak usiaku 8 tahun karena bergabung di Rumah Dunia bagai
mendarah daging di sumsumku. Mengalir di darahku. Kini, diusiaku yang ke-22 tahun
masih saja kunikmati berjibaku dengan dunia literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar