Perjalanan Pertamaku
Mendaki
Mendaki atau tracking adalah hal yang aku inginankan
sejak dulu.
Terlebih setelah aku selesai membaca sebuah Novel ‘Balada Si Roy’, buah karya Gol A Gong. Sejak saat itulah jiwaku terasa terpanggil untuk
mendaki. Darahku selalu berdesir saat aku membayangkan bagaimana kalau aku
benar-benar melakukannya
(meski aku seorang wanita).
Dan hari itu, Minggu
(06/12/2012) aku dan seorang penggemar dunia tracker mengajakku untuk menaklukkan Gunung
Pulosari di Pandeglang. Tepatnya di Desa Cilentung atau Kampung Masjid,
Pandeglang. Kami berangkat dari Serang sekira pukul 12.30 WIB. Perasaanku
campur aduk waktu itu. Mulai dari bahagia, senang
sekaligus tidak menyangka kalau aku akan mendaki gunung. Tapi itulah
kenyataannya
“AKU NAIK GUNUNG!” aku membatin. Besorak suka cita
dalam hati.
Arif, mahasiswa
Unsera memperkirakan mengenai jarak tempuh sampai ke Gunung Pulosari akan
memakan waktu 1 jam. Namun dugaannya meleset. Sungguh tidak disangka. Kemacetan
terjadi ketika memasuki Pasar Baros. Kemacetan sejauh 4 KM itu tidak membuat
Arif mengulur-ulur waktu begitu saja. Dia selalu memanfaatkan setiap kesempatan
untuk menyalip dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Bahkan sering kali jalan-jalan
yang menganga baik di bahu jalan atau pun di tengah-tengah menjadi sasaran kami
untuk memburu waktu. Miris memang menyaksikan potret jalanan menuju tempat
wisata yang seperti
tak diurus pemerintah. Seolah mata-mata para petinggi menutup mata.
“Wajar macet, ini kan hari libur,” kata Arif mencoba menghiburku.
“O….” mulutku
membulat. Pertanda bahwa sudah mengerti.
Dengan mengendarai
sebuah Bajaj Pulsar P135 LS berwarna hitam dan gagah itu, kami melesat bak anak
panah yang lepas dari busurnya. Kami akhirnya terbebas dari kemacetan dan bising
kendaraan. Gigi Bajaj itu pun dia naikkan menjadi 5 lipat kecepatan
dari biasanya. Yah, dengan kecepatan 115km/jam kami pun menyibak jalanan yang sedikit lengang.
Ragaku seolah terbang terbawa angin siang itu. Tapi aku sangat menikmatinya. Sungguh
perjalanan yang sangat luar biasa.
Mataku memandang ke segala penjuru mata angin. Tak kubiarkan sedikit pun lukisan alam ini luput
dari pandangan mataku. Dan ketika memasuki area persawahan yang berundak-undak.
Tiba-tiba bola mataku tertumbuk pada satu titik.
“Lihat…” Arif
menunjukkan tangannya pada puncak gunung di sebelah kiri kami. “Asap yang keluar itu adalah kawah gunungnya, loh” Arif menjabarkan.
Aku manggut-manggut
mendengarkan penjelasannya. Yah, pegunungan yang kawahnya tampak jelas itu
bediri kokoh dihadapan kami. Seiring dengan laju roda dua yang kami naiki Kedua
mataku saling berkejaran dan berlompatan dari satu pemandangan ke pemandangan
lainnya, yang juga tak kalah menakjubkan.
Mengenal Alam Lebih Dekat
Aku amati sebuah plang di depan gang masuk yang bertuliskan ‘Selamat Datang di Kawasan Wisata Gunung Pulosari’. Bajaj Pulsar milik Arif diparkirkan pada sebuah rumah, bangunan yang sebenarnya tak layak ditempati dan disebut sebagai rumah. Namun begitulah adanya. Lalu seorang laki-laki separuh senja menghampiri kami. Seperti sudah kenal sebelumnya, Arif dan si Bapak itu pun larut dalam perbincangan yang cukup panjang.
Aku amati sebuah plang di depan gang masuk yang bertuliskan ‘Selamat Datang di Kawasan Wisata Gunung Pulosari’. Bajaj Pulsar milik Arif diparkirkan pada sebuah rumah, bangunan yang sebenarnya tak layak ditempati dan disebut sebagai rumah. Namun begitulah adanya. Lalu seorang laki-laki separuh senja menghampiri kami. Seperti sudah kenal sebelumnya, Arif dan si Bapak itu pun larut dalam perbincangan yang cukup panjang.
Aku
mencuri-curi dengar. Ada beberapa yang bisa aku tangkap dari percakapan itu.
Mau numpang shalat. Yah, hanya sebatas
itu yang bisa aku pahami. Selebihnya, aku tidak mengerti. Selagi Arif
menunaikan shalat dhuzur. Aku sempatkan untuk meluruskan badan pada salah satu
matras. Setelah menempuh perjalanan 1,5 jam di atas motor rasanya pinggangku
ngilu. Tiba-tiba seorang Ibu yang tegah hamil muda muncul dari balik tembok.
Aku tersenyum, suatu cara untuk mencairkan suasana. Ibu muda itu pun balik
tersenyum kepadaku.
“Tinggal
di sini, Bu?” Tanyaku sekenanya.
“Iya,
Teh,” Jawabnya seraya membenahi jemuran pakaiannya.
Aku kemudian bertanya
ini-itu. Dari informasi yang aku dapat, ada sekitar
600 warga yang tinggal di Kampung Cilentung ini. Rata-rata dari mereka
rutinitas sehari-harinya dihabiskan untuk meladang dan bertani.
Aku
tengok jam di handphoneku. Jarum jam telah menunjukkan tepat pukul 14.10 WIB. Sebelum
kami menanjak ke Gunung Pulosari ini, wajib hukumnya untuk melapor atau
konfirmasi terlebih dahulu kepada penjaga gunung. Sambil memberitahu maksud atau
tujuannya melakukan pendakian ini. Arif membayar tiket masuk dengan kocek sebesar
RP. 5000.00,- Kemudian kami akan mengantongi selembar kertas yang bertuliskan nomor
telephone.
Selesai berdoa, kami
mulai melangkahkan kaki memasuki belantara hutan. Yang entah
bagaimana rupa dan isi di dalamnya. Ini adalah kali pertama aku
menjejakkan kaki ke gunung. Aku tampik rasa khawatir yang sempat
menggelayutiku. Aku yakin Arif bisa menjadi pemandu yang baik untuk perjalanan
mendakiku. Pasalnya Arif sudah sangat sering naik turun gunung. Jadi tidak akan
terjadi apa-apa. Allah akan menjaga hamba-hambanya. Dan aku percaya itu.
Jalur
pertama jalanan masih beraspal. Jadi belum ada tantangan. Dan masih bisa
kulewati. Namun aku sudah disuguhkan
dengan pemandangan yang sangat asri. Hijau dan sejuk. Lalu mataku tertumbuk
pada Pohon Kakao (coklat) yang tengah berbuah. “Hmmm, jadi pingin metik Kakao,” kataku dalam hati. Baru juga aku mengutarakan kalimat itu, Arif
menjelaskan mengenai aturan seorang pendaki. Memetik sembarangan buah atau merusak
pohon teryata itu adalah salah. Dan pantang untuk
dilanggar. Tidak boleh seenaknya kita memetik tumbuh-tumbuhan apapun selagi
tidak kita butuhkan. Lalu aku tarik kembali kalimat yang baru aku lontarkan
dalam hati itu.
Gemerisik
air dalam bambu seolah menggelitik telingaku. Air yang berasal langsung dari
mata air itu mengalir dan akan menjadi sumber utama untuk beraktivitas warga Kampung
Cilentung. Lalu tiba-tiba aku menangkap bunyi yang keras dan memekakan telinga.
“Bunyi
apa itu,” selorohku ingin tahu.
“Bunyi itu berasal dari
binatang yang bernama kolera,”
“Ohh…”
mulutku membulat seraya mengangguk-angguk.
Lalu kami melanjutkan kembali perjalanan
yang sempat terhenti. Langkahku masih stabil dan bisa kukendalikan. Belum ada
efek yang terasa. Tetapi, saat kakiku menapaki jalan yang berbatu besar-besar dan
berliku dan curam,
barulah napasku bagai berkejaran, kembang-kempis.
Aku seperti habis berlari beratus-ratus meter saja. Kepalaku juga jadi tak
karuan. Panas rasanya
ubun-ubunku. Haduh, macam-macam deh. Pernapasanku
benar-benar kacau. Aku jadi diceramihin lagi sama Arif. <p>
“Minum
dulu nih,” Arif menawarkan sebotol minuman yang baru dibelinya di pertengahan
jalan. Tanpa berpikir panjang langsung saja aku sambar air mineral itu. Lalu
aku teguk hingga dahagaku hilang. <p>
“Kalau
kita mau minum. Usahakan jangan langsung ditelan. Tapi ditahan dulu dimulut baru deh pelan-pelan kita telan.”
“Aku
salah lagi, ya?”
“Yah,
nggak apa-apa. Kamu kan baru pemula. Jadi bisa di tolerir. Hehehe,”
“Hmmm…”
Aku dapat ilmu lagi. Ternyata menjadi seorang
pendaki memang gampang-gampang susah. Dari hal yang kecil saja seperti, meminum
air, mengambil napas sampai berjalan pun ada tehniknya.
Tiba
saatnya kami berhenti. Tanda-tandanya sudah ada di depan mata kita. Sebuah anak
sungai nan bening dan bersih mengalir dan memotong perjalanan kami. Kami menyebrang.
Dengan keadaan jalan yang sudah kembali normal. Tidak lagi berbatu. Tetapi
curamnya melebihi dari yang kukira. Batu-batu besar menganga di sisi kanan dan
kirinya. Lambat laun gemericik air semakin jelas terdengar.
“Itu
suara air terjun. Sebentar lagi kita sampai,” Kata Arif menegaskan.
Dan… Wowww!! Air terjun itu sudah tepat di depan mataku. Aku segera menghampirinya.
Segala beban yang syarat akan lelah dan letih semuanya terbayarkan. Aku tak
berhenti berdecak kagum. Memuji
kebesaran-Nya. Aku menghirup udara dalam-dalam. Sejuk kurasa.
“Selamat
datang di Curug Putri!” aku berteriak dalam hati. Ingin segera aku rasakan segarnya air
pegunungan ini. Kusentuh air yang sedang mengalir dari
paralon. Aku tengadahkan tanganku. Aku membasuh
wajah hingga berkali-kali.
Pikiranku langsung, plong. Lalu aku meminumnya. Dan, subhanallah. Airnya sangat
segar sekali. Bahkan berasa.
Hujan Mengiringi
Kepulanganku
Perjalanan mendaki ini
sepertinya tidak bisa diteruskan hingga ke kawah. Karena jarak tempuhnya masih 1000
Meter lagi. Tidak bisa dibayangkan jikalau kita bersikukuh untuk tetap mendaki
ke sana. Kami akan turun gunung tanpa menggunakan alat penerang apapun.
Sementara senja mulai merayap. Bahkan langit pun mulai gelap. Bertanda hujan
akan segera turun. Rasa dingin pun mulai menghinggapi tubuhku. Aku dekap erat
bodypackku.
“Pulang,
yuk?” Aku
mengajak Arif yang tengah asyik dengan kameranya.
Arif mengangguk setuju.
Keputusan
kami sudah bulat. Kami
mesti turun!
Kami
menyusuri perjalanan yang sama dengan waktu kita naik. Hanya saja sedikit
berbeda. Entah ini perasaanku saja atau semua orang juga merasakannya. Pada saat
aku turun, bawaanku seperti ingin berlari. Mungkin karena ada gaya gravitasi
bumi.
Tiba-tiba rintik-rintik
hujan menyembul diantara rerimbunan pepohonan yang menjulang tinggi. Mengenai
kepala kami. Tapi untungnya tidak menjelma menjadi hujan lebat. Hanya sebatas gerimis saja.
“Sayang
yah, kita nggak bisa naik sampai ke kawah,” sesalku pada Arif.
Sangat
disayangkan memang. Tapi, tenang saja kesempatan untuk kembali lagi masih
terbuka lebar. Suatu
saat nanti, aku akan menyambangi gunung Pulosari lagi.
Syukur alhamdulillah
kami sampai dengan selamat. Aku lihat jam di handphoneku. Pukul 16.00 WIB. Sambil istirahat, kami bercengkrama dengan penjaga gunung. Selama kurang lebih setengah jam istirahat,
segera kami pulang. Meninggalkan Kawasan
Wisata Gunung Pulosari yang penuh keindahan dan dengan
perasaan
rindu untuk kembali mendaki.
Salam ransel!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar